Kamis, 27 Desember 2012


[A]ku

            Apakahakusudahmendapatkansegalanya?
            Asa yang benar – benar indahkah yang sampai hati mampu menggantikan posisi Tuhan – ku yang teramat tinggi itu.Yang selama ini aku muliakan, aku nomor satukan.
Asa yang menebar wangi semerbak tanpa aku butuh farfum untuk bisa mendapatkan wangi sempurna. Perasaan apakah ini yang menghampiri keperawanan naluri yang masih mentah? Belum lagi tumbuh bermekaran, dia sudah beranak – pinak liar diantara ilalang – ilalang yang saling berebut lahan untuk dijajah.
            Aku buta, tapi aku bisa melihat. Sebenarnya apa yang buta? Kenapa harus ada sepi saat hiruk – pikuk berhasil menggelorakan raga, walau jiwa tetap mati suri dalam bilik – bilik kelam yang kusebut hibernasi panjang.
            Ketika aku mampu berlari, bersembunyi dari mata – mata jalang yang senantiasa akan menerkam. Bersiap – siap dengan taring – taringnya yang tajam seakan – akan aku takut. Takut? Apakah mereka pikir aku peduli? Apakah mereka pikir aku pengecut? Tidak! Mereka hanya kumpulan mata yang tak memiliki kaki yang mampu mengejar langkahku lebih cepat, mereka juga tidak punya tangan yang mampu mencakar dan meremukkan tubuhku.
            Aku siap! Aku terbiasa hidup diantara hati – hati yang tercabik tapi tidak mati, namun lukanya cukup membawa dalam penderitaan neraka jahanam. Berjuang melewati kisah diantara kisah hati – hati yang tercabik. Berusaha menahan tumpahan air mata yang nyatanya membanjiri hatiku sendiri. Aku hampir hanyut diantara mereka, tepat ketika kutemukan sebuah perahu. Ini bukan perahu kertas yang kau kenal. Dia terbuat dari kayu yang sedikit rapuh. Perahu rapuh yang lama mengapung diantara hati – hati tercabik, berharap masih ada yang bisa selamat. Ternyata aku, aku berhasil selamat karena kuatku, pikirku. Tapi perahu terlalu rapuh, dia tak mampu menahan bebanku yang begitu berat. Satu persatu kudengar suara patahannya “krak!Krak! Krak!” begitu bunyinya.
            Hingga patahan terakhir, hampir saja aku tenggelam kedua kali tepat ketika aku melompat kesebuah batu besar. Lagi – lagi aku berhasil, itu karena kelihaianku, pikirku. Namun batu terlalu licin, aku tak mampu menjaga keseimbangan tubuhku. Aku terjatuh, terjatuh lagi. Dan kali ini tenggelam.
 Tubuhku tenggelam. Aku menggelepar ketakutan. Aku butuh nafas, mana bisa aku hidup tanpa nafas. Berusaha berenang walaupun pada dasarnya aku buta akan itu.
            Jika aku mati sekarang, aku menyesal. Sebab aku keluar dari rumah pagi tadi tanpa permisi pada Bunda. Beliau pasti mengkhawatirkanku, ia memiliki penyakit jantung. Aku tak mau sijanda itu mati mengenaskan tanpa ada yang menangisi. Jika aku mati sekarang, aku menyesal tidak bisa menghapus air matanya diakhir pekan ini. katanya, aku sudah membuatnya menangis walaupun sebenarnya aku tak tahu salahku apa. Jika aku mati sekarang, aku bahkan sangat menyesal karena telah mati tenggelam dalam lautan air mata yang kuciptakan sendiri.
            Sebuah arus bergelombang berusaha menegakkan tubuhku yang mulai lemas. Aku tegak berdiri, ya aku berdiri di tengah – tengah lautan air mataku sendiri. Nyatanya lautan itu hanya setinggi pinggangku. Ya, hanya setinggi pinggangku. Aku tersenyum puas sekali, ternyata aku berhasil. Aku selamat karena semangatku, pikirku.
            Aku berjalan ke tepi menuju padang rumput yang hijau. Aku ingin segera menyambut matahari tanpa peduli pada tubuhku yang basah kuyup. Aku ingin mengatakan pada angin bahwa aku telah berjuang. Sesampai di tepi, aku melihat padang rumput tapi tidak hijau, dia hitam. Matahari juga tak tampak, langit hitam. Dimana? Aku butuh cahaya! Aku ingin rumput kuhijau, aku ingin matahariku.
            Perjuangan apa ini? Sampah! Kenapa semuanya gelap? Kenapa langit tak biru? Dalam tangisku,  dalam asa yang terajut hampa, dalam semerbak wangi yang menghilang, dalam terang yang tak lagi bercahayadan  dalam perjuangan yang kembali pada titik nol.
            Aku merasa aku juga rapuh, namun aku tak sekuat perahu kayu yang mampu mencari hati – hati untuk diberi tumpangan. Aku teramat rapuh. Aku butuh cahaya.
            Tertunduk dan sedih dalam keakuanku atas apa yang kulakukan selama ini. Berjalan sendiri tanpa ada yang menemani, tanpa ada yang mengulurkan tangan untuk berjalan bersama melewati waktu hingga ke batas.
            Setelah apa yang kuperoleh, aku masih merasa ada yang hilang, masih merasa ada yang kosong. Entah apa. Sementara aku punya banyak energy, aku punya banyak cinta untuk diberi, hatiku terisi penuh dengan kasih. Tapi mengapa selalu ada tempat kosong? Apakah itu? Dimana dia? Bisakah dia hadir mengisi tempat kosong itu? Membawaku dalam kedamaian yang kubutuhkan, bukan kuinginkan. Dia yang sejak awal bersamaku untuk membangun segunung asa yang kami sepakati bersama yang kata mereka tidak masuk akal. Dia menjemputku, membawaku menuju kedamaian yang kubutuhkan. Namun daging ini, daging yang terlalu lembek untuk mengalahkan sebuah keinginan. Hingga dia meninggalkanku pada suatu perjalanan asa. Aku tak peduli, aku punya keinginan yang telah kusepakati sendiri. Aku berlari sendiri, aku ingin menggapainya. Sebuah ambisi yang besar yang aku sendiri tak dapat mengukur betapa besar keinginan itu. Nyatakah? Atau hanya imajinasiku saja dalam dunia dongeng yang aku juga buat sendiri. Dalam dunia yang orang tak perlu menggunakan kaki jika ingin pergi ke suatu tempat, tinggal kepakkan saja sayapnya dan mereka pun akan sampai ketempat tujuan. Dunia yang orang tak butuh bekerja keras untuk mencapai keinginannya, tinggal goyangkan saja tongkat sihirnya maka keinginan mereka akan terkabul.
            Namun semuanya semu. Hampa. Dan tak memiliki makna apa – apa. Aku tersadar dari mimpiku yang panjang. Aku mengingat dia yang meninggalkanku pada suatu perjalanan asa. Dia atau aku yang telah meninggalkan? Iya, aku yang telah meninggalkannya. Tapi dimana? Aku tak mengingat lagi jalan itu. Jalan dimana aku telah meninggalkannya.
            Aku tertunduk penuh penyesalan, membiarkan wajahku tenggelam dalam pangkuanku sendiri. Sepi. Tak ada siapa – siapa hanya isak tangisku yang menjadi – jadi. Sementara seberkas sinar menghampiriku, menyentuh ujung rambutku yang masih meneteskan air, kemudian menyelimutiku sehingga aku merasa hangat. Aku hangat, aku merasa damai. Langit pun biru, matahari pun terbit, rumput pun hijau. Aku bahagia, aku menari, aku bernyanyi. Tapi apakah itu? Cahayakah? Atau hanya kunang – kunang?
            Ah… aku tak peduli. Aku masih punya hati. Dan aku yakin cahaya tadi melihat hatiku, dia masih menempati posisi teratas, belum ada yang berhasil menyentuh kursinya apalagi melengsernya. Dan aku tahu, semua bukan karena kuatku, kelihaianku, dan bukan karena semangatku. Tapi karena dia satu – satunya. Satu – satunya yang menemani melewati waktu hingga ke batas.
            Dan aku akan berjalan mundur, menjejaki langkah – langkahku yang kemarin. Hingga aku menemukannya kembali di jalan dimana aku meninggalkan dia.

[A]ku

            Apakahakusudahmendapatkansegalanya?
            Asa yang benar – benar indahkah yang sampai hati mampu menggantikan posisi Tuhan – ku yang teramat tinggi itu.Yang selama ini aku muliakan, aku nomor satukan.
Asa yang menebar wangi semerbak tanpa aku butuh farfum untuk bisa mendapatkan wangi sempurna. Perasaan apakah ini yang menghampiri keperawanan naluri yang masih mentah? Belum lagi tumbuh bermekaran, dia sudah beranak – pinak liar diantara ilalang – ilalang yang saling berebut lahan untuk dijajah.
            Aku buta, tapi aku bisa melihat. Sebenarnya apa yang buta? Kenapa harus ada sepi saat hiruk – pikuk berhasil menggelorakan raga, walau jiwa tetap mati suri dalam bilik – bilik kelam yang kusebut hibernasi panjang.
            Ketika aku mampu berlari, bersembunyi dari mata – mata jalang yang senantiasa akan menerkam. Bersiap – siap dengan taring – taringnya yang tajam seakan – akan aku takut. Takut? Apakah mereka pikir aku peduli? Apakah mereka pikir aku pengecut? Tidak! Mereka hanya kumpulan mata yang tak memiliki kaki yang mampu mengejar langkahku lebih cepat, mereka juga tidak punya tangan yang mampu mencakar dan meremukkan tubuhku.
            Aku siap! Aku terbiasa hidup diantara hati – hati yang tercabik tapi tidak mati, namun lukanya cukup membawa dalam penderitaan neraka jahanam. Berjuang melewati kisah diantara kisah hati – hati yang tercabik. Berusaha menahan tumpahan air mata yang nyatanya membanjiri hatiku sendiri. Aku hampir hanyut diantara mereka, tepat ketika kutemukan sebuah perahu. Ini bukan perahu kertas yang kau kenal. Dia terbuat dari kayu yang sedikit rapuh. Perahu rapuh yang lama mengapung diantara hati – hati tercabik, berharap masih ada yang bisa selamat. Ternyata aku, aku berhasil selamat karena kuatku, pikirku. Tapi perahu terlalu rapuh, dia tak mampu menahan bebanku yang begitu berat. Satu persatu kudengar suara patahannya “krak!Krak! Krak!” begitu bunyinya.
            Hingga patahan terakhir, hampir saja aku tenggelam kedua kali tepat ketika aku melompat kesebuah batu besar. Lagi – lagi aku berhasil, itu karena kelihaianku, pikirku. Namun batu terlalu licin, aku tak mampu menjaga keseimbangan tubuhku. Aku terjatuh, terjatuh lagi. Dan kali ini tenggelam.
 Tubuhku tenggelam. Aku menggelepar ketakutan. Aku butuh nafas, mana bisa aku hidup tanpa nafas. Berusaha berenang walaupun pada dasarnya aku buta akan itu.
            Jika aku mati sekarang, aku menyesal. Sebab aku keluar dari rumah pagi tadi tanpa permisi pada Bunda. Beliau pasti mengkhawatirkanku, ia memiliki penyakit jantung. Aku tak mau sijanda itu mati mengenaskan tanpa ada yang menangisi. Jika aku mati sekarang, aku menyesal tidak bisa menghapus air matanya diakhir pekan ini. katanya, aku sudah membuatnya menangis walaupun sebenarnya aku tak tahu salahku apa. Jika aku mati sekarang, aku bahkan sangat menyesal karena telah mati tenggelam dalam lautan air mata yang kuciptakan sendiri.
            Sebuah arus bergelombang berusaha menegakkan tubuhku yang mulai lemas. Aku tegak berdiri, ya aku berdiri di tengah – tengah lautan air mataku sendiri. Nyatanya lautan itu hanya setinggi pinggangku. Ya, hanya setinggi pinggangku. Aku tersenyum puas sekali, ternyata aku berhasil. Aku selamat karena semangatku, pikirku.
            Aku berjalan ke tepi menuju padang rumput yang hijau. Aku ingin segera menyambut matahari tanpa peduli pada tubuhku yang basah kuyup. Aku ingin mengatakan pada angin bahwa aku telah berjuang. Sesampai di tepi, aku melihat padang rumput tapi tidak hijau, dia hitam. Matahari juga tak tampak, langit hitam. Dimana? Aku butuh cahaya! Aku ingin rumput kuhijau, aku ingin matahariku.
            Perjuangan apa ini? Sampah! Kenapa semuanya gelap? Kenapa langit tak biru? Dalam tangisku,  dalam asa yang terajut hampa, dalam semerbak wangi yang menghilang, dalam terang yang tak lagi bercahayadan  dalam perjuangan yang kembali pada titik nol.
            Aku merasa aku juga rapuh, namun aku tak sekuat perahu kayu yang mampu mencari hati – hati untuk diberi tumpangan. Aku teramat rapuh. Aku butuh cahaya.
            Tertunduk dan sedih dalam keakuanku atas apa yang kulakukan selama ini. Berjalan sendiri tanpa ada yang menemani, tanpa ada yang mengulurkan tangan untuk berjalan bersama melewati waktu hingga ke batas.
            Setelah apa yang kuperoleh, aku masih merasa ada yang hilang, masih merasa ada yang kosong. Entah apa. Sementara aku punya banyak energy, aku punya banyak cinta untuk diberi, hatiku terisi penuh dengan kasih. Tapi mengapa selalu ada tempat kosong? Apakah itu? Dimana dia? Bisakah dia hadir mengisi tempat kosong itu? Membawaku dalam kedamaian yang kubutuhkan, bukan kuinginkan. Dia yang sejak awal bersamaku untuk membangun segunung asa yang kami sepakati bersama yang kata mereka tidak masuk akal. Dia menjemputku, membawaku menuju kedamaian yang kubutuhkan. Namun daging ini, daging yang terlalu lembek untuk mengalahkan sebuah keinginan. Hingga dia meninggalkanku pada suatu perjalanan asa. Aku tak peduli, aku punya keinginan yang telah kusepakati sendiri. Aku berlari sendiri, aku ingin menggapainya. Sebuah ambisi yang besar yang aku sendiri tak dapat mengukur betapa besar keinginan itu. Nyatakah? Atau hanya imajinasiku saja dalam dunia dongeng yang aku juga buat sendiri. Dalam dunia yang orang tak perlu menggunakan kaki jika ingin pergi ke suatu tempat, tinggal kepakkan saja sayapnya dan mereka pun akan sampai ketempat tujuan. Dunia yang orang tak butuh bekerja keras untuk mencapai keinginannya, tinggal goyangkan saja tongkat sihirnya maka keinginan mereka akan terkabul.
            Namun semuanya semu. Hampa. Dan tak memiliki makna apa – apa. Aku tersadar dari mimpiku yang panjang. Aku mengingat dia yang meninggalkanku pada suatu perjalanan asa. Dia atau aku yang telah meninggalkan? Iya, aku yang telah meninggalkannya. Tapi dimana? Aku tak mengingat lagi jalan itu. Jalan dimana aku telah meninggalkannya.
            Aku tertunduk penuh penyesalan, membiarkan wajahku tenggelam dalam pangkuanku sendiri. Sepi. Tak ada siapa – siapa hanya isak tangisku yang menjadi – jadi. Sementara seberkas sinar menghampiriku, menyentuh ujung rambutku yang masih meneteskan air, kemudian menyelimutiku sehingga aku merasa hangat. Aku hangat, aku merasa damai. Langit pun biru, matahari pun terbit, rumput pun hijau. Aku bahagia, aku menari, aku bernyanyi. Tapi apakah itu? Cahayakah? Atau hanya kunang – kunang?
            Ah… aku tak peduli. Aku masih punya hati. Dan aku yakin cahaya tadi melihat hatiku, dia masih menempati posisi teratas, belum ada yang berhasil menyentuh kursinya apalagi melengsernya. Dan aku tahu, semua bukan karena kuatku, kelihaianku, dan bukan karena semangatku. Tapi karena dia satu – satunya. Satu – satunya yang menemani melewati waktu hingga ke batas.
            Dan aku akan berjalan mundur, menjejaki langkah – langkahku yang kemarin. Hingga aku menemukannya kembali di jalan dimana aku meninggalkan dia.