Rabu, 26 Mei 2010

..mocca panas..

MOCCA PANAS


Kisah ini bermula dari sini, dari tempat yang mungkin tidak menarik bagi pandangan banyak orang. Kafe yang terletak di daerah perkotaan tersebut seolah menyingkir dari hiruk-pikuk yang ada. Bagaimana tidak, kafe yang sangat tua itu berdiri kokoh di ujung kota tanpa memiliki tetangga. Konon katanya, kafe tua itu sudah berdiri sejak zaman penjajahan. Dulunya, itu hanyalah sebuah warung kopi, tempat dimana para kompeni biasa bersantai sembari meneguk secangkir kopi cengkeh yang dulunya terkenal amat enak. Dan memang tidak ada yang menarik sebagai alasan untuk mengunjungi kafe itu. Hanya para pensiunan veteran yang memdominasi tempat itu untuk bermain catur, membaca Koran, minum kopi atau sekadar bernostalgia dengan sesama pensiunan veteran lainnya. Tapi tidak bagi Lylia, gadis keturunan cina yang masih duduk di bangku SMA ini, kerap kali mampir ke kafe tua itu. Gadis berperawakan tinggi, berkulit putih dan bermata sipit itu selalu menghabiskan waktu berjam-jam di tempat itu. Entah ilmu sihir apa yang membuat gadis berambut panjang itu betah berlama-lama nempel di tempat itu.
“cabut dari sekolah lagi ya, dek?” Tanya pelayan kafe pada Lylia yang memang tahu kebiasaan buruk gadis itu.
Lylia tersenyum sembari mengangguk pelan.
“seperti biasa ya, Mas,” ucap gadis itu.
“oke ! Satu gelas kopi mocca panas akan segera datang,” sahut sang pelayan sembari meraih sebuah gelas.
Lylia kemudian duduk di kursi yang biasa ia tempati. Dari tempat duduknya itu, Lylia dapat melihat hamparan perkebunan teh yang terletak tak jauh dari tempat dimana ia berada sekarang.
Lylia melirik arloji pink yang terikat di tangan kirinya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Dan cemas pun segera menyergap gadis cantik itu sembari terus memandangi sebuah piano tua.
“ini dek, kopinya,” ucap pelayan menghampiri sembari menyuguhkan secangkir kopi mocca panas.
“makasih Mas! Oh, iya… ngomong-ngomong kok sepi banget ?” Tanya Lylia.
“ah, nggak juga. Masih seperti biasa,” jawab pelayan yang bernama Joseph tersebut sembari menunjuk gerombolan kakek yang sedang asyik bergurau.
“maksud aku, bukan pembelinya Mas Jos. Tapi musiknya.”
“oh…kalo yang ntu sih emang lagi nggak ada. Soalnya, Vai lagi ada urusan.”
“Vai… ?”
“iya, Vai pemain piano ntu. Namanya sih Valiant, tapi orang-orang di sini biasa memanggilnya dengan sebutan Vai.
“oh… begitu. Mm… kalo boleh tau, Vai ada urusan apa ya Mas?”
“kalo ntu sih, Mas tidak tau. Memangnya ada apa dek?”
“nggak apa-apa kok, Cuma ingin tau aja. Makasih ya Mas,” ucap Lylia saat Joseph akan berlalu dihadapannya.
Sudah lima hari Lylia tak melihat Vai bermain piano di kafe itu. Musik klasik yang dimainkan pria tampan itu, membuat tentram hati siswi SMA itu. Lylia mulai merasakan aka nada hal yang terpenting yang akan hilang dari hidupnya. Dan Vai adalah alasan kenapa Lylia senang sekali mampir di kafe itu.
Waktu itu, Lylia tak sengaja melihat Vai ketika mengantarkan kakeknya berkunjung ke kafe itu. Awalnya Lylia tak mengerti tentang perasaan yang ia rasakan. Tapi lama-kelamaan ia mulai menyadari bahwa pria itu telah mencuri hati dan menyita seluruh pikirannya. Hingga akhirnya, Lylia selalu mampir ke kafe itu untuk sejadar minum kopi sembari memelototi Vai yang dengan lihai memainkan piano.
Lylia mulai mengenduskan nafas kecewa tepat ketika seorang kakek mengajaknya bermain catur.
“hei! Pertandingan catur kemaren belum selesai. Kali ini kakek pasti bakal menang,” ucap kakek Henry yang membuyarkan lamunan Lylia.
“oke! Hari ini kakek harus menyediakan dua cangkir kopi mocca panas untukku.”
“baik. Tapi kali ini, pasti kakek yang akan menang,” sahut kakek Henry percaya diri.
***
Hari ini kelihatan tak sebaik hari kemaren. Hujan masih saja turun sejak pagi tadi. Lylia berlari kecil sembari menghindari kubangan-kubangan air hujan yang nantinya dapat mengotori sepatu sekolah yang ia kenakan. Gadis itu masuk ke kafe tua sembari mengusap rambutnya yang basah terkena hujan.
Dan tiba-tiba saja seorang pria memberinya sebuah handuk. Betapa terkejutnya Lylia melihat pria yang sedang berdiri didepannya sembari menyodorkan sehelai handuk. Ternyata pria itu adalah Vai.
“bu…buat aku?” Tanya Lylia terbata-bata dan masih dalam keadaan kaget yang luarbiasa.
“iya, buat kami yang sudah basah kuyup,” jawab Vai sembari tersenyum.
“makasih,”ucap Lylia sembari meraih handuk tersebut dari genggaman Vai.
Kemudian Vai mengajak Lylia duduk di sudut ruangan sembari menikmati kopi mocca panas.
“namaku Valiant, tapi kamu boleh memanggilku Vai, “ ucap Vai memulai pembicaraan.
“aku Lylia. Senang berkenalan dengan kamu,” ucap Lylia tersipu.
“ya, aku tau.”
“maksud kamu? Kamu tau siapa namaku?” Tanya Lylia heran.
“iya, aku tau. Siapa lagi cewek yang suka cabut dari sekolah, trus mampir ke sini dan memesan kopi mocca panas kalo bukan Lylia.”
Lylia tertawa, wajahnya memerah bak tomat yang siap dilempar ke tembok hingga hancur. Lylia malu sekaligus gembira karena ternyata cowok idamannya diam-diam memerhatikannya. Dan kini, Lylia mulai menemukan sinyal-sinyal positif dari Vai. Yeah, seperti lampu hijau.
“Vai, kamu tau nggak? Kenapa aku sering main ke sini?”
“emm… memang kenapa?”
“aku ingat, pertama kali aku kemari, aku udah tertarik sama sesuatu yang ada di dalam kafe ini. Dan sesuatu itu yang telah meramaikan tempat ini. Mungkin saat itu aku belum begitu mengerti, sebab aku masih anak kelas satu SMA yang polos. Tapi sekarang, aku udah beranjak dewasa. Dan kamu tau? Aku udah kelas tiga SMA. Itu artinya, waktu tiga tahun sudah cukup bagiku ‘tuk meyakinkan diriku.”
“tentang apa?”
“bahwa sebenarnya… aku menyukaimu,” ucap Lylia sembari menundukkan kepala.
Jujur, lylia sebenarnya sangat takut mengatakan hal itu. Namun ia lebih takut lagi jika kehilangan kesempatan seperti ini.
Vai terdiam seketika. Wajahnya yang tanpa ekspresi berhasil membuat Lylia bingung. Lylia tak mengerti, apakah Vai senang atau malah marah padanya. Lama mereka terdiam. Lylia hanya dapat menggerutu dalam hati, menyesali perkataan yang telah terlontar dari mulutnya. Seandainya saja waktu dapat diulang, Lylia takkan pernah berkata seperti itu lagi.
“jujur, aku tidak tau apakah aku senang atau tidak dengan pengakuan kamu tadi,” ucap Vai.
Lylia masih bungkam dan terus saja merasa menyesal.
“sejak awal aku memang menyukaimu. Tapi itu tidak mungkin sebaba usia kita terpaut jauh. Lama aku berusaha untuk membuang pikiran seperti itu. Hingga akhirnya, sebulan yang lalu aku memutuskan ‘tuk berterus terang tentang perasaanku padamu. Namun niat itu hilang seketika setelah aku melihatmu bersama seorang pria, bergandengan dengan mesra di kafe ini,” ucap Vai.
“oh…lelaki itu, dia sepupuku yang baru balik dari Amrik. Michael namanya. Sekarang, gak ada masalah ‘kan?” ucap Lylia mantap.
“sekarang kondisinya udah beda. Sejak aku melihat kamu berduaan dengan pria itu. Mau tak mau, aku harus menerima tawaran papa untuk menikah dengan gadis pilihannya.”
“lalu… kamu terima begitu saja?” Tanya Lylia cemas.
“sebenarnya, aku sudah lama menolak tawaran tersebut dengan berbagai alasan. Sampai akhirnya, papa membuat kesepakatan. Jika aku tidak membawa gadis pilihanku dihadapannya, maka aku harus siap menikah dengan gadis pilihan papa. Dan sebenarnya, waktu itu, aku ingin membawamu tapi… “
Kedua insan itu kini terdiam lama. Lylia telah dapat mereka-reka apa yang terjadi selanjutnya. Dan kenyataannya itu pasti amat menyakitkan bagi dirinya. Kini, Lylia telah menemukan apa yang berharga yang telah hilang dari hidupnya. Penantian tiga tahun terasa amat sia-sia ditelan pertemuan yang hanya tiga jam.
Dua cangkir kopi mocca panas telah dingin tertiup waktu tanpa sedikitpun tersentuh oleh kedua insan yang sedang dilema itu. Detik demi detik, menit demi menit, tak sepatah kata pun terucap. Hanya tetes hujan yang kian deras menyanyikan lagu sendu yang memilukan.
“Ly, aku telah…”
“menikah,” potong Lylia sembari mencoba menahan tangis.
“aku minta maaf, aku telah…”
“selamat ya! Semoga kalian bahagia sampai kakek-kakek dan nenek-nenek,” sahut Lylia sembari tersenyum dalam luka yang menganga lebar.
“terimakasih,” ucap Vai tersenyum kecut.
“aku akan pergi ke Amrik untuk melanjutkan kuliahku. Dan satu hal yang perlu kamu ketahui. Aku tak menyukai permainan pianomu. Itu sangat buruk,” ucap Lylia sembari beranjak dari kursinya.
“tapi aku yakin, kamu bakal merindukan hal itu.”
Lylia hanya tersenyum sembari berpaling dan berlalu meninggalkan Vai.
“pasti aku akan sangat merindukanmu, Vai,” batin Lylia tepat ketika bening-bening itu merayap dipipinya yang lembut.
Kini, dua cangkir kopi mocca yang tak lagi panas hanya dapat termangu menjadi saksi bisu dua hati yang hancur. Hingga keduanya tak lagi pernah bersua dalam waktu yang cukup panjang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar