Kamis, 27 Desember 2012


[A]ku

            Apakahakusudahmendapatkansegalanya?
            Asa yang benar – benar indahkah yang sampai hati mampu menggantikan posisi Tuhan – ku yang teramat tinggi itu.Yang selama ini aku muliakan, aku nomor satukan.
Asa yang menebar wangi semerbak tanpa aku butuh farfum untuk bisa mendapatkan wangi sempurna. Perasaan apakah ini yang menghampiri keperawanan naluri yang masih mentah? Belum lagi tumbuh bermekaran, dia sudah beranak – pinak liar diantara ilalang – ilalang yang saling berebut lahan untuk dijajah.
            Aku buta, tapi aku bisa melihat. Sebenarnya apa yang buta? Kenapa harus ada sepi saat hiruk – pikuk berhasil menggelorakan raga, walau jiwa tetap mati suri dalam bilik – bilik kelam yang kusebut hibernasi panjang.
            Ketika aku mampu berlari, bersembunyi dari mata – mata jalang yang senantiasa akan menerkam. Bersiap – siap dengan taring – taringnya yang tajam seakan – akan aku takut. Takut? Apakah mereka pikir aku peduli? Apakah mereka pikir aku pengecut? Tidak! Mereka hanya kumpulan mata yang tak memiliki kaki yang mampu mengejar langkahku lebih cepat, mereka juga tidak punya tangan yang mampu mencakar dan meremukkan tubuhku.
            Aku siap! Aku terbiasa hidup diantara hati – hati yang tercabik tapi tidak mati, namun lukanya cukup membawa dalam penderitaan neraka jahanam. Berjuang melewati kisah diantara kisah hati – hati yang tercabik. Berusaha menahan tumpahan air mata yang nyatanya membanjiri hatiku sendiri. Aku hampir hanyut diantara mereka, tepat ketika kutemukan sebuah perahu. Ini bukan perahu kertas yang kau kenal. Dia terbuat dari kayu yang sedikit rapuh. Perahu rapuh yang lama mengapung diantara hati – hati tercabik, berharap masih ada yang bisa selamat. Ternyata aku, aku berhasil selamat karena kuatku, pikirku. Tapi perahu terlalu rapuh, dia tak mampu menahan bebanku yang begitu berat. Satu persatu kudengar suara patahannya “krak!Krak! Krak!” begitu bunyinya.
            Hingga patahan terakhir, hampir saja aku tenggelam kedua kali tepat ketika aku melompat kesebuah batu besar. Lagi – lagi aku berhasil, itu karena kelihaianku, pikirku. Namun batu terlalu licin, aku tak mampu menjaga keseimbangan tubuhku. Aku terjatuh, terjatuh lagi. Dan kali ini tenggelam.
 Tubuhku tenggelam. Aku menggelepar ketakutan. Aku butuh nafas, mana bisa aku hidup tanpa nafas. Berusaha berenang walaupun pada dasarnya aku buta akan itu.
            Jika aku mati sekarang, aku menyesal. Sebab aku keluar dari rumah pagi tadi tanpa permisi pada Bunda. Beliau pasti mengkhawatirkanku, ia memiliki penyakit jantung. Aku tak mau sijanda itu mati mengenaskan tanpa ada yang menangisi. Jika aku mati sekarang, aku menyesal tidak bisa menghapus air matanya diakhir pekan ini. katanya, aku sudah membuatnya menangis walaupun sebenarnya aku tak tahu salahku apa. Jika aku mati sekarang, aku bahkan sangat menyesal karena telah mati tenggelam dalam lautan air mata yang kuciptakan sendiri.
            Sebuah arus bergelombang berusaha menegakkan tubuhku yang mulai lemas. Aku tegak berdiri, ya aku berdiri di tengah – tengah lautan air mataku sendiri. Nyatanya lautan itu hanya setinggi pinggangku. Ya, hanya setinggi pinggangku. Aku tersenyum puas sekali, ternyata aku berhasil. Aku selamat karena semangatku, pikirku.
            Aku berjalan ke tepi menuju padang rumput yang hijau. Aku ingin segera menyambut matahari tanpa peduli pada tubuhku yang basah kuyup. Aku ingin mengatakan pada angin bahwa aku telah berjuang. Sesampai di tepi, aku melihat padang rumput tapi tidak hijau, dia hitam. Matahari juga tak tampak, langit hitam. Dimana? Aku butuh cahaya! Aku ingin rumput kuhijau, aku ingin matahariku.
            Perjuangan apa ini? Sampah! Kenapa semuanya gelap? Kenapa langit tak biru? Dalam tangisku,  dalam asa yang terajut hampa, dalam semerbak wangi yang menghilang, dalam terang yang tak lagi bercahayadan  dalam perjuangan yang kembali pada titik nol.
            Aku merasa aku juga rapuh, namun aku tak sekuat perahu kayu yang mampu mencari hati – hati untuk diberi tumpangan. Aku teramat rapuh. Aku butuh cahaya.
            Tertunduk dan sedih dalam keakuanku atas apa yang kulakukan selama ini. Berjalan sendiri tanpa ada yang menemani, tanpa ada yang mengulurkan tangan untuk berjalan bersama melewati waktu hingga ke batas.
            Setelah apa yang kuperoleh, aku masih merasa ada yang hilang, masih merasa ada yang kosong. Entah apa. Sementara aku punya banyak energy, aku punya banyak cinta untuk diberi, hatiku terisi penuh dengan kasih. Tapi mengapa selalu ada tempat kosong? Apakah itu? Dimana dia? Bisakah dia hadir mengisi tempat kosong itu? Membawaku dalam kedamaian yang kubutuhkan, bukan kuinginkan. Dia yang sejak awal bersamaku untuk membangun segunung asa yang kami sepakati bersama yang kata mereka tidak masuk akal. Dia menjemputku, membawaku menuju kedamaian yang kubutuhkan. Namun daging ini, daging yang terlalu lembek untuk mengalahkan sebuah keinginan. Hingga dia meninggalkanku pada suatu perjalanan asa. Aku tak peduli, aku punya keinginan yang telah kusepakati sendiri. Aku berlari sendiri, aku ingin menggapainya. Sebuah ambisi yang besar yang aku sendiri tak dapat mengukur betapa besar keinginan itu. Nyatakah? Atau hanya imajinasiku saja dalam dunia dongeng yang aku juga buat sendiri. Dalam dunia yang orang tak perlu menggunakan kaki jika ingin pergi ke suatu tempat, tinggal kepakkan saja sayapnya dan mereka pun akan sampai ketempat tujuan. Dunia yang orang tak butuh bekerja keras untuk mencapai keinginannya, tinggal goyangkan saja tongkat sihirnya maka keinginan mereka akan terkabul.
            Namun semuanya semu. Hampa. Dan tak memiliki makna apa – apa. Aku tersadar dari mimpiku yang panjang. Aku mengingat dia yang meninggalkanku pada suatu perjalanan asa. Dia atau aku yang telah meninggalkan? Iya, aku yang telah meninggalkannya. Tapi dimana? Aku tak mengingat lagi jalan itu. Jalan dimana aku telah meninggalkannya.
            Aku tertunduk penuh penyesalan, membiarkan wajahku tenggelam dalam pangkuanku sendiri. Sepi. Tak ada siapa – siapa hanya isak tangisku yang menjadi – jadi. Sementara seberkas sinar menghampiriku, menyentuh ujung rambutku yang masih meneteskan air, kemudian menyelimutiku sehingga aku merasa hangat. Aku hangat, aku merasa damai. Langit pun biru, matahari pun terbit, rumput pun hijau. Aku bahagia, aku menari, aku bernyanyi. Tapi apakah itu? Cahayakah? Atau hanya kunang – kunang?
            Ah… aku tak peduli. Aku masih punya hati. Dan aku yakin cahaya tadi melihat hatiku, dia masih menempati posisi teratas, belum ada yang berhasil menyentuh kursinya apalagi melengsernya. Dan aku tahu, semua bukan karena kuatku, kelihaianku, dan bukan karena semangatku. Tapi karena dia satu – satunya. Satu – satunya yang menemani melewati waktu hingga ke batas.
            Dan aku akan berjalan mundur, menjejaki langkah – langkahku yang kemarin. Hingga aku menemukannya kembali di jalan dimana aku meninggalkan dia.

[A]ku

            Apakahakusudahmendapatkansegalanya?
            Asa yang benar – benar indahkah yang sampai hati mampu menggantikan posisi Tuhan – ku yang teramat tinggi itu.Yang selama ini aku muliakan, aku nomor satukan.
Asa yang menebar wangi semerbak tanpa aku butuh farfum untuk bisa mendapatkan wangi sempurna. Perasaan apakah ini yang menghampiri keperawanan naluri yang masih mentah? Belum lagi tumbuh bermekaran, dia sudah beranak – pinak liar diantara ilalang – ilalang yang saling berebut lahan untuk dijajah.
            Aku buta, tapi aku bisa melihat. Sebenarnya apa yang buta? Kenapa harus ada sepi saat hiruk – pikuk berhasil menggelorakan raga, walau jiwa tetap mati suri dalam bilik – bilik kelam yang kusebut hibernasi panjang.
            Ketika aku mampu berlari, bersembunyi dari mata – mata jalang yang senantiasa akan menerkam. Bersiap – siap dengan taring – taringnya yang tajam seakan – akan aku takut. Takut? Apakah mereka pikir aku peduli? Apakah mereka pikir aku pengecut? Tidak! Mereka hanya kumpulan mata yang tak memiliki kaki yang mampu mengejar langkahku lebih cepat, mereka juga tidak punya tangan yang mampu mencakar dan meremukkan tubuhku.
            Aku siap! Aku terbiasa hidup diantara hati – hati yang tercabik tapi tidak mati, namun lukanya cukup membawa dalam penderitaan neraka jahanam. Berjuang melewati kisah diantara kisah hati – hati yang tercabik. Berusaha menahan tumpahan air mata yang nyatanya membanjiri hatiku sendiri. Aku hampir hanyut diantara mereka, tepat ketika kutemukan sebuah perahu. Ini bukan perahu kertas yang kau kenal. Dia terbuat dari kayu yang sedikit rapuh. Perahu rapuh yang lama mengapung diantara hati – hati tercabik, berharap masih ada yang bisa selamat. Ternyata aku, aku berhasil selamat karena kuatku, pikirku. Tapi perahu terlalu rapuh, dia tak mampu menahan bebanku yang begitu berat. Satu persatu kudengar suara patahannya “krak!Krak! Krak!” begitu bunyinya.
            Hingga patahan terakhir, hampir saja aku tenggelam kedua kali tepat ketika aku melompat kesebuah batu besar. Lagi – lagi aku berhasil, itu karena kelihaianku, pikirku. Namun batu terlalu licin, aku tak mampu menjaga keseimbangan tubuhku. Aku terjatuh, terjatuh lagi. Dan kali ini tenggelam.
 Tubuhku tenggelam. Aku menggelepar ketakutan. Aku butuh nafas, mana bisa aku hidup tanpa nafas. Berusaha berenang walaupun pada dasarnya aku buta akan itu.
            Jika aku mati sekarang, aku menyesal. Sebab aku keluar dari rumah pagi tadi tanpa permisi pada Bunda. Beliau pasti mengkhawatirkanku, ia memiliki penyakit jantung. Aku tak mau sijanda itu mati mengenaskan tanpa ada yang menangisi. Jika aku mati sekarang, aku menyesal tidak bisa menghapus air matanya diakhir pekan ini. katanya, aku sudah membuatnya menangis walaupun sebenarnya aku tak tahu salahku apa. Jika aku mati sekarang, aku bahkan sangat menyesal karena telah mati tenggelam dalam lautan air mata yang kuciptakan sendiri.
            Sebuah arus bergelombang berusaha menegakkan tubuhku yang mulai lemas. Aku tegak berdiri, ya aku berdiri di tengah – tengah lautan air mataku sendiri. Nyatanya lautan itu hanya setinggi pinggangku. Ya, hanya setinggi pinggangku. Aku tersenyum puas sekali, ternyata aku berhasil. Aku selamat karena semangatku, pikirku.
            Aku berjalan ke tepi menuju padang rumput yang hijau. Aku ingin segera menyambut matahari tanpa peduli pada tubuhku yang basah kuyup. Aku ingin mengatakan pada angin bahwa aku telah berjuang. Sesampai di tepi, aku melihat padang rumput tapi tidak hijau, dia hitam. Matahari juga tak tampak, langit hitam. Dimana? Aku butuh cahaya! Aku ingin rumput kuhijau, aku ingin matahariku.
            Perjuangan apa ini? Sampah! Kenapa semuanya gelap? Kenapa langit tak biru? Dalam tangisku,  dalam asa yang terajut hampa, dalam semerbak wangi yang menghilang, dalam terang yang tak lagi bercahayadan  dalam perjuangan yang kembali pada titik nol.
            Aku merasa aku juga rapuh, namun aku tak sekuat perahu kayu yang mampu mencari hati – hati untuk diberi tumpangan. Aku teramat rapuh. Aku butuh cahaya.
            Tertunduk dan sedih dalam keakuanku atas apa yang kulakukan selama ini. Berjalan sendiri tanpa ada yang menemani, tanpa ada yang mengulurkan tangan untuk berjalan bersama melewati waktu hingga ke batas.
            Setelah apa yang kuperoleh, aku masih merasa ada yang hilang, masih merasa ada yang kosong. Entah apa. Sementara aku punya banyak energy, aku punya banyak cinta untuk diberi, hatiku terisi penuh dengan kasih. Tapi mengapa selalu ada tempat kosong? Apakah itu? Dimana dia? Bisakah dia hadir mengisi tempat kosong itu? Membawaku dalam kedamaian yang kubutuhkan, bukan kuinginkan. Dia yang sejak awal bersamaku untuk membangun segunung asa yang kami sepakati bersama yang kata mereka tidak masuk akal. Dia menjemputku, membawaku menuju kedamaian yang kubutuhkan. Namun daging ini, daging yang terlalu lembek untuk mengalahkan sebuah keinginan. Hingga dia meninggalkanku pada suatu perjalanan asa. Aku tak peduli, aku punya keinginan yang telah kusepakati sendiri. Aku berlari sendiri, aku ingin menggapainya. Sebuah ambisi yang besar yang aku sendiri tak dapat mengukur betapa besar keinginan itu. Nyatakah? Atau hanya imajinasiku saja dalam dunia dongeng yang aku juga buat sendiri. Dalam dunia yang orang tak perlu menggunakan kaki jika ingin pergi ke suatu tempat, tinggal kepakkan saja sayapnya dan mereka pun akan sampai ketempat tujuan. Dunia yang orang tak butuh bekerja keras untuk mencapai keinginannya, tinggal goyangkan saja tongkat sihirnya maka keinginan mereka akan terkabul.
            Namun semuanya semu. Hampa. Dan tak memiliki makna apa – apa. Aku tersadar dari mimpiku yang panjang. Aku mengingat dia yang meninggalkanku pada suatu perjalanan asa. Dia atau aku yang telah meninggalkan? Iya, aku yang telah meninggalkannya. Tapi dimana? Aku tak mengingat lagi jalan itu. Jalan dimana aku telah meninggalkannya.
            Aku tertunduk penuh penyesalan, membiarkan wajahku tenggelam dalam pangkuanku sendiri. Sepi. Tak ada siapa – siapa hanya isak tangisku yang menjadi – jadi. Sementara seberkas sinar menghampiriku, menyentuh ujung rambutku yang masih meneteskan air, kemudian menyelimutiku sehingga aku merasa hangat. Aku hangat, aku merasa damai. Langit pun biru, matahari pun terbit, rumput pun hijau. Aku bahagia, aku menari, aku bernyanyi. Tapi apakah itu? Cahayakah? Atau hanya kunang – kunang?
            Ah… aku tak peduli. Aku masih punya hati. Dan aku yakin cahaya tadi melihat hatiku, dia masih menempati posisi teratas, belum ada yang berhasil menyentuh kursinya apalagi melengsernya. Dan aku tahu, semua bukan karena kuatku, kelihaianku, dan bukan karena semangatku. Tapi karena dia satu – satunya. Satu – satunya yang menemani melewati waktu hingga ke batas.
            Dan aku akan berjalan mundur, menjejaki langkah – langkahku yang kemarin. Hingga aku menemukannya kembali di jalan dimana aku meninggalkan dia.

Minggu, 11 September 2011

aku gak mau bapakku spt itu..................

beliau kan seorang guru. kenaapa disuruh ngecat tembok?'
miris sekali melihatnya.


aku di antara gerombolan bapak2 memakai baju dinas. salah seorang bapak berkata :"pak, gantilah baju dinasmu, nanti kena cat. kalau tiba-tiba bupati lewat trus diliatnya, kita juga yang malu."
"iya pak. gantilah pakaianmu," beberapa guru lain ikut menyela.


bapak yang mengecat hanya senyum dan melanjutkan pekerjaannya, mengecat. ntah kenapa, aku tiba2 sedih. gimana kalau bapakku diperlakukan spt itu?' ya Tuhan, semoga saja tidak ada yang memperlakukan bapakku spt itu, batinku.


"pak, boleh tanya?' bapak itu seorang gurukah?" tanyaku pada bapak2 pertama yang mengusulkan agar bapak yang mengecat itu mengganti bajunya.
"iya."
"lalu kenapa beliau mengecat tembok sekolah? memang tukang catnya tidak ada pak?"
"gak ada buk.bapak itu kan guru seni."
"ohhh... seorang guru yang dermawan mengecat tembok sekolah. lalu kenapa beliau harus mengganti baju dinasnya pak? kalau begitu apa bedanya bapak tersebut dengan tukang cat?kalau pun bupati melihat, seharusnya sekolah ini bangga punya guru yang berdedikasi tinggi terhadap sekolah, ya kan pak?"

Minggu, 07 Agustus 2011

brrr...

let me go home..
:)

everyone tell about their mom..
:)

just let me go home..
:)

not only ya guys who miss mom..
:)

i'm strong girl that become winner till the end of this...
:)

let me go home..
:)

i wanna see u mom just a moment..
:)

i wanna say ,"mom,, i love ya. i'll be a strong girl. just struggling until all of this finished.
:)

all is well..
all is well..

Kamis, 21 April 2011

polisi tidur..........

prihatin liat polisi2 tidur yang berserakan di jalanan, gak bertanggung jawab tuh yang buat..
sebenarnya mereka tau gak sih kalo membuat polisi tidur itu ada aturannya loh. gak asal buat aja..
niat baik mau mengurangi kecelakaan lalin dan keributan gara2 pengendara yang ngebut malah bisa bikin korban kecelakaan.
ya, aku hampir jadi korban gara2 polisi tidur yang baru dibangun tingginya wuuuiiiiihhhhhh luar biasa. bisa2 knalpot kolong sepeda motorku rusak.

sebenarnya apa sih gunanya polisi tidur?'
oke, jika aku telisik lebih dalam dari zaman ke zaman,, hhmmmpp......
polisi tidur itu gunanya untuk mengurangi kecepatan pengendara yang bisa menimbulkan korban kecelakaan maupun keributan akibat mesin kendaraan. biasanya dan sewajarnya polisi tidur itu di buat d daerah2 yang rawan kecelakaan, pemukiman warga, sarana2 umum spt sekolah, kampus, rumah ibadah, rumah sakit serta daerah2 yang banyak anak2 bermain.
trus, buatnya gak asal2an jugak,, harus ada izin dari Suku Dinas Perhubungan. bentuknya juga punya standarisasi. tinggi maksimal 12centimeter, dan dbuat agak landai. bukan tinggi menjulang kayak lompat batu di nias..
ck ck ck..
ini nih yang paling ngeri,, buat polisi tidur tepat di tikungan tajam. sayang, kemaren aku gak bawa kamera, jadi aku gak bisa moto tuh polisi tidur. laen kali lok lewat situ pasti ku foto..
ada jugak polisi tidur yang berdempetan, seharusnya tuh polisi tidur berjarak minimal 50 meter...

anyway, bijaksana lah dalam membuat polisi tidur. pikirin dulu apakah itu akan membuat aman atau malah sebaliknya, akan membahayakan....

Sabtu, 26 Maret 2011

to be a teacher......

Alasan mengapa menjadi seorang guru:

Sebenarnya ini adalah sebuah takdir, saya tidak pernah berniat menjadi seorang guru, apalagi menjadi seorang guru fisika. Tapi saya mulai mengubah sudut pandang saya mengenai hal itu. Ketika saya mengamati banyak guru yang bersifat konvensional dan bertahan dengan cara lamanya, menganggap bahwa mereka menguasai semua konsep. Masuk ke kelas dengan wajah tegang, lalu memaksa konsep-konsep yang dia kuasai untuk masuk ke otak siswa tanpa pernah peduli apakah siswanya menerima atau tidak. Saya ingin mengubah paham itu. Saya ingin menjadi guru yang berpikir filosofis dimana dalam mempelajari suatu konsep, dia mendiskusikannya bersama dengan murid-muridnya, meminta ide2 para siswa seolah-olah kami sama2 baru dengar konsep tersebut, dan menjadikan kelas tampak menyenangkan seperti halnya belajar kelompok dengan teman sebaya. Kebanyakan guru berpikiran bahwa penguasaan materi dalam bidangnya adalah hal yang hebat. Kalau begitu saya bertanya, “mengapa anda tidak jadi ahli Fisika saja jika anda menguasai seluruh konsep-konsep Fisika?”

Di sini perbedaan itu, guru yang hebat adalah guru yang memiliki kemampuan untuk memotivasi siswanya agar giat belajar.

Ini merupakan tantangan, dan saya suka tantangan. Saya tidak ingin menjadi kebanyakan guru yang hanya mau mengajar pada siswa-siswa yang sudah pintar saja, mereka bahkan malas merespon siswa yang sedikit ‘lemah’. Setiap hari si guru hanya bertanya pada siswa yang pintar, jika seperti itu, kapan siswa yang ‘lemah’ ini akan maju kalau si guru tidak respek terhadapnya?'

Seharusnya kita berpikiran, mengapa ada sekolah?' Sebab orang-orang merasa bodoh dan perlu belajar. Mengapa ada anak yang lemah?' Untuk itulah sekolah hadir agar mencerdaskan mereka. Namun pada kenyataannya, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap anak yang lemah itu. Saya ingin mengubah persepsi tersebut bahwa tidak ada orang normal yang terlahir bodoh. Setiap orang memiliki kecerdasannya masing-masing. Seorang siswa mungkin saja lemah dalam bidang sains, namun dia bisa saja hebat dalam bidang seni. Disinilah peran guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mencari tahu apa sebenarnya potensi si anak didik tersebut. Dan lalu dapat menjelaskannya kepada orangtua. Sebab orang tua terkadang tidak mengerti tentang anak mereka. Ketika anak mereka mendapat nilai 5 pada mata pelajaran matematika, orangtua si anak pasti langsung memberikan les private matematika untuk si anak. Tanpa melihat nilai-nilai tinggi yang lain, bisa saja si anak memiliki nilai tinggi pada bidang seni. Dan mengapa tidak bakat seninya yang diasah? Pasti si anak akan lebih unggul lagi, dan bukan setengah unggul. lagi pula, Tuhan menciptakan manusia dengan keunikan masing2 serta keahlian masing2. Tuhan sendiri tidak bodoh, Dia tidak akan menciptakan manusia yang semuanya ahli dalam matematika dan sains. coba bayangkan bagaimana jadinya jika semua orang didunia ini menjadi dokter?' siapa yang bakalan menbangun rumah? siapa yang bakalan memainkan musik?' lagipula dunia ini akan membosankan tanpa adanya musik atau karya seni lainnya.

Dan ada pula guru yang nepotisme atau bersifat pilih kasih. Saya tidak tahu-menahu apa tujuannya, namun hal itu sangatlah fatal buat siswa yang merasa bahwa dia berada di bawah tekanan (korban dari praktek pilih kasih). Apalagi ketika si guru punya paham yang kuat dengan kesan pertama, mungkin kesan pertamanya terhadap seorang anak didik adalah bahwa anak tersebut kurang mampu. Selamanya si guru akan berpikiran bahwa anak itu tidak mampu dan kemampuannya tidak akan melebihi anak yang mampu. Namun ingat, dalam perkembangan kognitif, cara berpikir seseorang bisa saja berkembang, tidak ada yang statis. Saat si anak yang di-cap tidak mampu tersebut, berusaha keras untuk menjadi mampu. Namun si guru tidak berterima dengan perubahan itu. Dia tetap saja menganggap bahwa kemampuan si anak yang tidak mampu tadi tidak akan melebihi kemampuan anak yang mampu. Nah, pada saat nilai si anak yang tidak mampu tadi bisa melebihi nilai si anak yang mampu, dia merasa bahwa itu mustahil. sehingga di final, dia akan tetap membuat nilai si anak mampu lebih tinggi dari pada nilai si anak yang tidak mampu. Sangat fatal, si anak yang dianggap kurang mampu tadi akan kehilangan minat belajar. Dia berpikir bahwa jika dia belajar keras atau tidak, nilainya akan sama saja, tidak akan melebih nilai si anak mampu. Akhirnya dia malas belajar. Ini biasanya terjadi pada guru yang malas menilai, dia hanya aktif menilai berdasarkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik diawal semester saja. Dan terkadang, terhadap siswa yang pintar si guru memberikan perlakuan yang istimewa. Sementara yang ‘lemah’ mendapat perlakuan tegas.

Tambahan lagi, ketika guru menerangkan di depan kelas. Kemudian setelah itu bertanya kepada siswanya dan siswanya tak satu pun mengerti. Maka si guru pun marah seolah-olah siswanyalah yang sepenuhnya salah dalam hal itu tanpa pernah berpikir : “apa yang salah dari yang kuajarkan? Apakah aku kurang jelas menerangkan atau kalimat-kalimat yang kupilih dalam menjelaskan terlalu sulit sehingga mereka tidak mengerti?”

Dalam hal ini, kecerdasan emosi perlu diaplikasikan.

Banyak hal yang sebenarnya tidak berkenan di hati saya. Saat itu saya berjanji: “jika saya menjadi seorang guru, saya harus mengubahnya dan saya tidak akan melakukan hal tersebut. Bersikap objektif, adil dan merata tanpa memandang unsur SARA.”

Saya ingin menambah apa yang kurang menurut saya berdasarkan dari pengamatan saya tentang guru selama ini. Untuk mengubah itu, saya perlu menjadi guru agar saya tahu dimana sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan hal-hal tersebut kurang dan meminimalisasikan faktor2 tsb. Dan saya ingin menjadi guru yang professional dan disenangi siswa.


sebenarnya, ini tugas matakuliah profesi kependidikan. tugas yang seharusnya 3 minggu yang lalu udh dkumpul, namun aku sendiri baru buat..

wkwkwkwkkwkwkwkwkwkkk. :-D

Selasa, 22 Maret 2011

pemimpin yang tepat..

menurutku, pemimpin yang tepat adalah pemimpin yang berasal dari kaum tertindas yang ingin maju. dimana ketika dia ingin menjadi pemimpin, dia berjuang sendiri dan berupaya sendiri dengan kemampuannya. dan ketika dia berhasil sampai dipuncak pemerintahannya sebagai pemimpin, dia tak akan main-main, sebab dia tau bagaimana berharganya perjuangan itu, bagaimana sulitnya menjadi hero dari zero, bagaimana susahnya jadi orang susah. dia bakal cepat tanggap terhadap keluhan-keluhan rakyat miskin, sebab sebelumnya dia telah merasakan hal itu sebelumnya.
gampang saja, ketika kw susah mencari pekerjaan bersama teman2mu. ketika kw menangis bersama teman karena kalian tidak punya persediaan uang buat membeli makan, jalan kaki pulang ke rumah sebab tak ada ongkos, sedih bersama ketika lamaran kerja ditolak. dan ketika kw sudah sukses, apa yang kw lakukan?' kw pasti mencari temanmu itu, sebab kw tw, dialah temanmu. bukan orang2 kaya yg ada dsekitarmu. kenapa kw lakukan itu? sebab kw berpikir, inilah orang yang mengerti aku, inilah orang yang sehati denganku. kw juga tw bahwa teman2 kaya mu itu tidak akan bs d ajak susah ketika suatu saat nanti kw akan susah.
ORANG KAYA MANA MAU DIAJAK SUSAH...

maka dr itu, ketika pemimpin kita berasal dr kaum tertindas atau miskin, beliau merasa bahwa kaum miskin dan tertindas itulah temannya. ketika ada permasalahan yang berkenaan dengan rakyat miskin, beliau akan sangat peka pada hal itu..
bedakan dengan seseorang yang sudah terlanjur kaya sejak lahir, dia tak akan cepat tanggap..
bahkan mungkin menganggap sangat remeh masalah itu...
"ahhkk... nantilah itu. masih bisanya di tahan orang itu, kan mereka udah terbiasa hidup miskin dan tertindas," begitu pikirnya..
karna apa?'
karna dia tak pernah merasakannya pahitnya jadi orang miskin dan tertindas..
hhhmmmpp,,...