Alasan mengapa menjadi seorang guru:
Sebenarnya ini adalah sebuah takdir, saya tidak pernah berniat menjadi seorang guru, apalagi menjadi seorang guru fisika. Tapi saya mulai mengubah sudut pandang saya mengenai hal itu. Ketika saya mengamati banyak guru yang bersifat konvensional dan bertahan dengan cara lamanya, menganggap bahwa mereka menguasai semua konsep. Masuk ke kelas dengan wajah tegang, lalu memaksa konsep-konsep yang dia kuasai untuk masuk ke otak siswa tanpa pernah peduli apakah siswanya menerima atau tidak. Saya ingin mengubah paham itu. Saya ingin menjadi guru yang berpikir filosofis dimana dalam mempelajari suatu konsep, dia mendiskusikannya bersama dengan murid-muridnya, meminta ide2 para siswa seolah-olah kami sama2 baru dengar konsep tersebut, dan menjadikan kelas tampak menyenangkan seperti halnya belajar kelompok dengan teman sebaya. Kebanyakan guru berpikiran bahwa penguasaan materi dalam bidangnya adalah hal yang hebat. Kalau begitu saya bertanya, “mengapa anda tidak jadi ahli Fisika saja jika anda menguasai seluruh konsep-konsep Fisika?”
Di sini perbedaan itu, guru yang hebat adalah guru yang memiliki kemampuan untuk memotivasi siswanya agar giat belajar.
Ini merupakan tantangan, dan saya suka tantangan. Saya tidak ingin menjadi kebanyakan guru yang hanya mau mengajar pada siswa-siswa yang sudah pintar saja, mereka bahkan malas merespon siswa yang sedikit ‘lemah’. Setiap hari si guru hanya bertanya pada siswa yang pintar, jika seperti itu, kapan siswa yang ‘lemah’ ini akan maju kalau si guru tidak respek terhadapnya?'
Seharusnya kita berpikiran, mengapa ada sekolah?' Sebab orang-orang merasa bodoh dan perlu belajar. Mengapa ada anak yang lemah?' Untuk itulah sekolah hadir agar mencerdaskan mereka. Namun pada kenyataannya, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap anak yang lemah itu. Saya ingin mengubah persepsi tersebut bahwa tidak ada orang normal yang terlahir bodoh. Setiap orang memiliki kecerdasannya masing-masing. Seorang siswa mungkin saja lemah dalam bidang sains, namun dia bisa saja hebat dalam bidang seni. Disinilah peran guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mencari tahu apa sebenarnya potensi si anak didik tersebut. Dan lalu dapat menjelaskannya kepada orangtua. Sebab orang tua terkadang tidak mengerti tentang anak mereka. Ketika anak mereka mendapat nilai 5 pada mata pelajaran matematika, orangtua si anak pasti langsung memberikan les private matematika untuk si anak. Tanpa melihat nilai-nilai tinggi yang lain, bisa saja si anak memiliki nilai tinggi pada bidang seni. Dan mengapa tidak bakat seninya yang diasah? Pasti si anak akan lebih unggul lagi, dan bukan setengah unggul. lagi pula, Tuhan menciptakan manusia dengan keunikan masing2 serta keahlian masing2. Tuhan sendiri tidak bodoh, Dia tidak akan menciptakan manusia yang semuanya ahli dalam matematika dan sains. coba bayangkan bagaimana jadinya jika semua orang didunia ini menjadi dokter?' siapa yang bakalan menbangun rumah? siapa yang bakalan memainkan musik?' lagipula dunia ini akan membosankan tanpa adanya musik atau karya seni lainnya.
Dan ada pula guru yang nepotisme atau bersifat pilih kasih. Saya tidak tahu-menahu apa tujuannya, namun hal itu sangatlah fatal buat siswa yang merasa bahwa dia berada di bawah tekanan (korban dari praktek pilih kasih). Apalagi ketika si guru punya paham yang kuat dengan kesan pertama, mungkin kesan pertamanya terhadap seorang anak didik adalah bahwa anak tersebut kurang mampu. Selamanya si guru akan berpikiran bahwa anak itu tidak mampu dan kemampuannya tidak akan melebihi anak yang mampu. Namun ingat, dalam perkembangan kognitif, cara berpikir seseorang bisa saja berkembang, tidak ada yang statis. Saat si anak yang di-cap tidak mampu tersebut, berusaha keras untuk menjadi mampu. Namun si guru tidak berterima dengan perubahan itu. Dia tetap saja menganggap bahwa kemampuan si anak yang tidak mampu tadi tidak akan melebihi kemampuan anak yang mampu. Nah, pada saat nilai si anak yang tidak mampu tadi bisa melebihi nilai si anak yang mampu, dia merasa bahwa itu mustahil. sehingga di final, dia akan tetap membuat nilai si anak mampu lebih tinggi dari pada nilai si anak yang tidak mampu. Sangat fatal, si anak yang dianggap kurang mampu tadi akan kehilangan minat belajar. Dia berpikir bahwa jika dia belajar keras atau tidak, nilainya akan sama saja, tidak akan melebih nilai si anak mampu. Akhirnya dia malas belajar. Ini biasanya terjadi pada guru yang malas menilai, dia hanya aktif menilai berdasarkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik diawal semester saja. Dan terkadang, terhadap siswa yang pintar si guru memberikan perlakuan yang istimewa. Sementara yang ‘lemah’ mendapat perlakuan tegas.
Tambahan lagi, ketika guru menerangkan di depan kelas. Kemudian setelah itu bertanya kepada siswanya dan siswanya tak satu pun mengerti. Maka si guru pun marah seolah-olah siswanyalah yang sepenuhnya salah dalam hal itu tanpa pernah berpikir : “apa yang salah dari yang kuajarkan? Apakah aku kurang jelas menerangkan atau kalimat-kalimat yang kupilih dalam menjelaskan terlalu sulit sehingga mereka tidak mengerti?”
Dalam hal ini, kecerdasan emosi perlu diaplikasikan.
Banyak hal yang sebenarnya tidak berkenan di hati saya. Saat itu saya berjanji: “jika saya menjadi seorang guru, saya harus mengubahnya dan saya tidak akan melakukan hal tersebut. Bersikap objektif, adil dan merata tanpa memandang unsur SARA.”
Saya ingin menambah apa yang kurang menurut saya berdasarkan dari pengamatan saya tentang guru selama ini. Untuk mengubah itu, saya perlu menjadi guru agar saya tahu dimana sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan hal-hal tersebut kurang dan meminimalisasikan faktor2 tsb. Dan saya ingin menjadi guru yang professional dan disenangi siswa.
sebenarnya, ini tugas matakuliah profesi kependidikan. tugas yang seharusnya 3 minggu yang lalu udh dkumpul, namun aku sendiri baru buat..
wkwkwkwkkwkwkwkwkwkkk. :-D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar