Hari ini aku mengikuti rapat program baru sekaligus perkenalan pengurus-pengurus baru dari klub photography baruku.
Aku melihat William dengan kerennya duduk di depan menghadap kepada semua anggota. Dia sangat mempesona sehingga membuatku semakin terpuruk sebab tak pantas memiliki dia. setidaknya saat ini aku bisa menormalkan perasaanku, membuat seolah-olah semua terasa biasa saja. Yeah, aku ingin belajar profesional.
Mungkin selamanya aku akan tetap menjadi pengagum rahasia William. Iya, selamanya. Tidak tahu sampai kapan. Yang aku tahu, aku tak mampu mengubahnya sebab aku tak memiliki kuasa atas perasaanku sendiri. Inilah nasib si buruk rupa yang malang. Aku tak tahu kapan aku akan berubah menjadi seekor angsa yang cantik, secantik semua mantan William.
Ya sudahlah, menjadi seorang pengagum saja sudah merupakan penghargaan terbesar buatku. Setidaknya, aku masih bisa mengucap syukur pada Tuhan atas mahakaryaNya yang begitu indah yang tertuang pada sosok William, lelaki yang tak pernah menganggapku ada.
Aku duduk di samping George. Dia yang menjemputku dari kelas dan mengajakku ke markas klub mereka. Aku tidak tahu pasti apa peran George dalam klub ini, tapi sepertinya dia salah satu orang yang memilki peran penting. Terbukti dari banyaknya ide-ide yang keluar dari mulut George dalam rapat program kerja ini.
Dan aku. Aku sama sekali tak mengerti dimana awal, tengah dan ujung dari pembicaraan rumit mereka. Yang aku tahu hanya menikmati wajah William, itu saja. Benar-benar pekerjaan yang menyenangkan, aku sangat menantikan saat-saat seperti ini. Sungguh mengasyikkan.
“hei! Ayo pulang!” teriak George mengagetkan aku.
“loh, mengapa cepat sekali?” tanyaku heran.
“cepat katamu? Kita sudah dua jam berada di sini. Dan rapat telah usai.”
“haaa… dua jam? Aku kira…”
Baru sepuluh menit, sambungku dalam hati. aku tak berani mengatakannya, takut George bakal memarahiku. Sepertinya George tipe pria yang banyak omong dan penuh dengan kritik. Penampilannya yang lugas dan tak kaku membuatku gampang akrab padanya. Mungkin bukan cuma aku, tapi semua orang. Ya, semua orang pasti cepat akrab pada George.
“apa yang kau kira?”
“oh… tidak. Aku tidak mengira apa-apa.”
“kau memang tidak mengira apa-apa, tapi kau sedang melamun. Iya kan?”
“tidak, aku tidak melamun.”
“kau sedang berbohong.”
“tidak, aku tidak berbohong.”
“matamu yang mengatakan kalau kau sedang berbohong.”
George benar-benar menyebalkan. Sekarang, sudah mulai kelihatan sifat aslinya. Sepertinya kami bakal tidak cocok, pasti akan banyak terjadi beda pendapat dengannya. Sebaiknya aku tak usah banyak bicara dengannya, itu lebih baik untuk mengantisipasi adanya bentrok.
Tiba-tiba mataku menangkap sosok cantik Sharon. Yeah, aku tahu kalau dia akan menemui William, kekasih hatinya. Sharon berjalan gemulai bak model yang sedang tampil di atas karpet merah. Lalu dengan manjanya Sharon menggandeng tangan William. Dan dengan kecepatan cahaya, William mencium bibir Sharon.
Oh my God! Aku merasa ada segaris petir yang lewat dibelakang tubuhku yang kemudian menyambar George yang saat itu tepat dibelakangku. Yeah, George hampir sama seperti Wilgeth yang selalu senang berjalan dibelakangku.
Tiba-tiba aku kepanasan. Aku merasa sedang berada di kota Al ‘Aziziyah, kota terpanas di dunia yang terletak di barat utara Libya yang suhunya mencapai 58 derajat celcius. Aku benar-benar gerah melihat tindak-tanduk sepasang kekasih sempurna yang sedang dimabuk asmara itu.
Sebaiknya aku buru-buru pergi sebelum aku menyaksikan adegan yang lebih berbahaya dari adegan ciuman itu. Sebab aku belum cukup umur untuk melihat itu semua.
“hei! Kau mau kemana?” Tanya George padaku tepat ketika aku beranjak dari tempat.
“aku mau pulang.”
“kau tinggal dimana?”
“aku tinggal di Avenue Blok A.”
“kebetulan, aku tinggal di Blok C. bagaimana kalau kita pulang bersama-sama? Aku akan mengantarkanmu sampai di depan rumahmu.”
“oke!” ucapku setelah berpikir sejenak. Setidaknya, aku dapat menghemat ongkos untuk naik angkutan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar