“hai! Sepertinya kau sudah mendapatkan teman baru, Gareth,” sapa Emily yang tiba-tiba mengagetkanku.
“iya. Lelaki asal Jepang yang bernama Ryoto. Dia sangat baik dan ramah,” ucapku.
“bagaimana kalau kau jadikan kekasih saja,” ide bodoh Emily keluar.
“itu tidak mungkin, Emily. Kau benar-benar aneh.”
“aneh? Bukannya yang aneh itu kau, Gareth. Kau selalu saja autis bersama dengan Wilgeth. Aku jadi curiga, jangan-jangan kau dan Wilgeth…” selidik Emily.
“hei! Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Wilgeth. Kami hanya sebatas sahabat. Wilgeth baik, pengertian dan selalu menemaniku.”
“persahabatan antara manusia dan hewan. Itu sungguh aneh, Gareth.”
“kau pernah menonton film tentang persahabatan seorang anak lelaki dari Chicago yang bernama Sandy dengan seekor lumba-lumba yang bernama Flipper?”
“pernah. Lalu apa hubungannya denganmu?”
“tidak ada hubungannya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa mata lelaki itu sangat indah.”
“Gareth, kau benar-benar aneh. Begini, aku hanya kasihan padamu. Kau sama sekali belum pernah berpacaran, kau benar-benar tidak menikmati masa mudamu.”
“terimakasih atas perhatianmu kepadaku, Emily. Tapi perlu kau ketahui, aku sangat menikmati hidupku.”
“Gareth, aku ingin kau memiliki seorang pacar.”
“aku tahu Emily. Tapi, mana ada lelaki yang ingin berpacaran dengan gadis buruk rupa seperti aku.”
“kau cantik, Gareth. Berhentilah menganggap bahwa memiliki rambut hitam dan lurus adalah suatu kejelekan. Kau hanya tinggal memoles sedikit wajahmu, aku yakin akan banyak pria yang tertarik padamu. Setidaknya, berbicaralah seperlunya ketika ada seorang pria yang ingin mengenalmu, jangan membicarakan hal yang tidak penting.”
Aku tahu apa maksud Emliy berbicara seperti itu. Aku memang selalu mengatakan hal-hal aneh yang membuat setiap lelaki tidak simpati lagi terhadapku. Seperti beberapa bulan lalu, ada seorang lelaki yang bernama Jacob mendekatiku. Dia pria yang lumayan tampan, memiliki mata yang indah, hidung yang mancung dan kulit yang putih bersih serta postur tubuh layaknya seorang atlet binaragawan. Jacob datang berkunjung ke rumahku ketika Emily sedang berada di tempat yang sama juga.
Jacob datang sengaja ingin berkenalan denganku. Ia membawa sekuntum mawar putih dan sekotak penuh coklat. Farfum Jacob saat itu benar-benar sangat wangi sehingga membuat hidungku merah-merah karena kebanyakan bersin. Aku tidak tahu apakah Jacob sengaja memakai farfum sebanyak itu atau tidak. Tapi menurutku, Jacob ketumpahan farfum dua botol.
“Hai, namaku Jacob,” sapa Jacob penuh wibawa.
“Hai, namaku Margareth. Aku seorang phedopil,” ucapku sembari menyambut jabatan tangan Jacob.
Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi setelah malam itu, Jacob tak pernah muncul lagi.
Masih sama dengan kejadian yang dialami oleh Jacob. Ada seorang lelaki lagi yang mendekatiku. Dia teman sekelasku sewaktu SMA, namanya Arnold. Dia benar-benar sangat menyebalkan, tipe lelaki agresif yang menjijikkan. Dia selalu saja mendekatiku, mengikutiku, mengintaiku bahkan menggangguku.
Suatu hari, Arnold berbicara denganku. Sebenarnya aku sangat malas meladeninya. Tapi terpaksa, sebab aku tak mau dia bunuh diri di depan mataku.
“Margareth, aku ingin tahu, kau sudah berapa kali berpacaran dengan pria?” Tanya Arnold.
“aku belum pernah berpacaran,” jawabku.
“mengapa demikian?”
“perlu kau ketahui, Arnold. Sebenarnya aku seorang lesbi,” ucapku.
Sejak saat itu, Arnold berhenti mendekatiku, mengikutiku, mengintaiku dan menggangguku. Dia benar-benar menjauh dari kehidupanku.
Aku sengaja melakukan itu semua bukan tanpa alasan. Tapi karena di hatiku sudah tertulis satu nama yaitu William.
William.
William.
William.
Aku benar-benar sudah mati rasa pada semua lelaki karenanya. Aku kagum padamu, William. Aku tak tahu mantera suku mana yang kau gunakan untuk meluluhlantakkan hatiku menjadi tak berbentuk. Kau benar-benar memberi sensasi yang berbeda yang tak pernah kudapatkan dari lelaki manapun.
“aku tahu apa yang kau katakana pada Jacob dan Arnold,” Sahut Emily.
Aku hanya diam.
“aku tak mengerti mengapa kau melakukan hal itu, Gareth?” Tanya Emily.
“aku tak suka pada mereka.”
“tak suka? Apa sih kurangnya mereka? Atau jangan-jangan kau memang lesbi.”
“kalau aku seorang lesbi, berarti kau juga lesbi.”
“kenapa begitu?”
“karena kau yang setiap saat bersama-sama denganku,” ucapku tersenyum.
“kau benar-benar gila, Gareth. Maaf, kali ini kau tidak beruntung. Aku belum berpikiran untuk melesbi. Kau bisa coba lain waktu,” ucap Emily.
“maaf juga, Emily. Aku tak ada niat untuk melesbi. Jadi percuma saja kau menungguku di lain waktu.”
“hahaha… kau benar-benar lucu, Gareth,” ujar Emily sembari tertawa.
Huh, seandainya kau tahu, Emily. Aku hanya mengharapkan William untuk jadi pacarku sejak aku masih menjadi segumpal darah di dalam rahim mamaku.