Minggu, 27 Juni 2010

18


“hai! Sepertinya kau sudah mendapatkan teman baru, Gareth,” sapa Emily yang tiba-tiba mengagetkanku.

“iya. Lelaki asal Jepang yang bernama Ryoto. Dia sangat baik dan ramah,” ucapku.

“bagaimana kalau kau jadikan kekasih saja,” ide bodoh Emily keluar.

“itu tidak mungkin, Emily. Kau benar-benar aneh.”

“aneh? Bukannya yang aneh itu kau, Gareth. Kau selalu saja autis bersama dengan Wilgeth. Aku jadi curiga, jangan-jangan kau dan Wilgeth…” selidik Emily.

“hei! Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Wilgeth. Kami hanya sebatas sahabat. Wilgeth baik, pengertian dan selalu menemaniku.”

“persahabatan antara manusia dan hewan. Itu sungguh aneh, Gareth.”

“kau pernah menonton film tentang persahabatan seorang anak lelaki dari Chicago yang bernama Sandy dengan seekor lumba-lumba yang bernama Flipper?”

“pernah. Lalu apa hubungannya denganmu?”

“tidak ada hubungannya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa mata lelaki itu sangat indah.”

“Gareth, kau benar-benar aneh. Begini, aku hanya kasihan padamu. Kau sama sekali belum pernah berpacaran, kau benar-benar tidak menikmati masa mudamu.”

“terimakasih atas perhatianmu kepadaku, Emily. Tapi perlu kau ketahui, aku sangat menikmati hidupku.”

“Gareth, aku ingin kau memiliki seorang pacar.”

“aku tahu Emily. Tapi, mana ada lelaki yang ingin berpacaran dengan gadis buruk rupa seperti aku.”

“kau cantik, Gareth. Berhentilah menganggap bahwa memiliki rambut hitam dan lurus adalah suatu kejelekan. Kau hanya tinggal memoles sedikit wajahmu, aku yakin akan banyak pria yang tertarik padamu. Setidaknya, berbicaralah seperlunya ketika ada seorang pria yang ingin mengenalmu, jangan membicarakan hal yang tidak penting.”

Aku tahu apa maksud Emliy berbicara seperti itu. Aku memang selalu mengatakan hal-hal aneh yang membuat setiap lelaki tidak simpati lagi terhadapku. Seperti beberapa bulan lalu, ada seorang lelaki yang bernama Jacob mendekatiku. Dia pria yang lumayan tampan, memiliki mata yang indah, hidung yang mancung dan kulit yang putih bersih serta postur tubuh layaknya seorang atlet binaragawan. Jacob datang berkunjung ke rumahku ketika Emily sedang berada di tempat yang sama juga.

Jacob datang sengaja ingin berkenalan denganku. Ia membawa sekuntum mawar putih dan sekotak penuh coklat. Farfum Jacob saat itu benar-benar sangat wangi sehingga membuat hidungku merah-merah karena kebanyakan bersin. Aku tidak tahu apakah Jacob sengaja memakai farfum sebanyak itu atau tidak. Tapi menurutku, Jacob ketumpahan farfum dua botol.

“Hai, namaku Jacob,” sapa Jacob penuh wibawa.

“Hai, namaku Margareth. Aku seorang phedopil,” ucapku sembari menyambut jabatan tangan Jacob.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi setelah malam itu, Jacob tak pernah muncul lagi.

Masih sama dengan kejadian yang dialami oleh Jacob. Ada seorang lelaki lagi yang mendekatiku. Dia teman sekelasku sewaktu SMA, namanya Arnold. Dia benar-benar sangat menyebalkan, tipe lelaki agresif yang menjijikkan. Dia selalu saja mendekatiku, mengikutiku, mengintaiku bahkan menggangguku.

Suatu hari, Arnold berbicara denganku. Sebenarnya aku sangat malas meladeninya. Tapi terpaksa, sebab aku tak mau dia bunuh diri di depan mataku.

“Margareth, aku ingin tahu, kau sudah berapa kali berpacaran dengan pria?” Tanya Arnold.

“aku belum pernah berpacaran,” jawabku.

“mengapa demikian?”

“perlu kau ketahui, Arnold. Sebenarnya aku seorang lesbi,” ucapku.

Sejak saat itu, Arnold berhenti mendekatiku, mengikutiku, mengintaiku dan menggangguku. Dia benar-benar menjauh dari kehidupanku.

Aku sengaja melakukan itu semua bukan tanpa alasan. Tapi karena di hatiku sudah tertulis satu nama yaitu William.

William.

William.

William.

Aku benar-benar sudah mati rasa pada semua lelaki karenanya. Aku kagum padamu, William. Aku tak tahu mantera suku mana yang kau gunakan untuk meluluhlantakkan hatiku menjadi tak berbentuk. Kau benar-benar memberi sensasi yang berbeda yang tak pernah kudapatkan dari lelaki manapun.

“aku tahu apa yang kau katakana pada Jacob dan Arnold,” Sahut Emily.

Aku hanya diam.

“aku tak mengerti mengapa kau melakukan hal itu, Gareth?” Tanya Emily.

“aku tak suka pada mereka.”

“tak suka? Apa sih kurangnya mereka? Atau jangan-jangan kau memang lesbi.”

“kalau aku seorang lesbi, berarti kau juga lesbi.”

“kenapa begitu?”

“karena kau yang setiap saat bersama-sama denganku,” ucapku tersenyum.

“kau benar-benar gila, Gareth. Maaf, kali ini kau tidak beruntung. Aku belum berpikiran untuk melesbi. Kau bisa coba lain waktu,” ucap Emily.

“maaf juga, Emily. Aku tak ada niat untuk melesbi. Jadi percuma saja kau menungguku di lain waktu.”

“hahaha… kau benar-benar lucu, Gareth,” ujar Emily sembari tertawa.

Huh, seandainya kau tahu, Emily. Aku hanya mengharapkan William untuk jadi pacarku sejak aku masih menjadi segumpal darah di dalam rahim mamaku.

17


Yeah, William adalah salah satu salah satu alasan mengapa aku ingin kuliah di Universitas Chicago. Namun volume otakku tak mampu untuk masuk ke Jurusan kedokteran, dan aku harus puas hanya menjadi mahasiswa Keuangan. Aku yakin, kedokteran dengan keuangan sangat sejalan. Dimana kelak ketika aku dan William berkeluarga, kami dapat menjalankan bisnis bersama. Kami akan membuka klinik. William yang akan menjadi dokternya, sementara aku yang akan menjaga kasirnya. Hahaha… benar-benar bisnis yang sangat menjanjikan. Tapi… aku rasa itu bukan klinik, melainkan minimarket. Ahk… ya sudahlah, itu tak menjadi masalah.

Akhirnya aku mendapat seorang teman juga. Namanya Ryoto, dia lelaki asal Jepang. Aku heran mengapa ia mau memilih aku sebagai temannya. Katanya, aku mirip gadis blasteran Jepang. Hahaha… sepertinya Ryoto memiliki mata yang payah. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan orang Jepang. Atau… aku memang anak om Jack. Sebab mama pernah bercerita bahwa om Jack mempunyai seorang ibu keturunan Jepang. Lagi pula, jika diperhatikan, om Jack memiliki mata seperti mata orang Jepang dan rambut hitam lurus sama seperti aku. Oh my God, bukti sudah semakin kuat. Aku benar-benar tidak dapat menerima kenyataan. Sepertinya aku akan sungguh-sungguh bunuh diri.

Sebelum bunuh diri, sebaiknya aku meninggalkan surat wasiat kepada kedua orangtuaku, Emily, Wilgeth dan William. William? Aku tak yakin dia punya waktu untuk membaca surat tak penting dari orang yang juga tidak penting seperti aku. Dan aku akan mati dengan sangat mengenaskan.

Minggu, 20 Juni 2010

16


Aku baru saja melihat pengumuman yang mengatakan bahwa aku berada di kelas A sementara Emily dan Peter berada di kelas B. Yes, akhirnya Tuhan mengabulkan harapanku.

“Margareth?”

Tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkanku.

“ya, namaku Margareth,” ucapku pada seorang lelaki jangkung yang mengenakan Grey Cardi Sweater.

“selamat ya! Aku dengar kau meraih penghargaan The Iconique Societas Excellence di Landscape Photography,” ucap lelaki itu sembari menjabat tanganku.

“ya, terimakasih. Tapi, darimana kau tahu?”

“sebab aku juga mengikuti kompetisi itu. Tapi sayangnya, aku tidak seberuntung kau. Oh ya, namaku George. Salam kenal.”

“Margareth.”

“Margareth, apakah kau ingin bergabung dalam klub fotografy kami?”

“klub fotografy? Bukankah aku anak Keuangan, apakah hal tersebut tidak tampak terlihat aneh?”

“tenang saja, klub kami terbuka untuk mahasiswa dari jurusan manapun. Perlu kau ketahui bahwa ketua yang baru saja terpilih adalah mahasiswa kedokteran. Itu dia orangnya,” celoteh George sembari menunjuk seorang pria yang beberapa meter berdiri menghadap kami.

WILLIAM??? OH MY GOD, batinku menjerit.

Ini benar-benar gila, ternyata ada hal-hal lain dari William yang tak kuketahui. Aku tak tahu bahwa William juga menyenangi dunia fotografy. Mulai sekarang, aku janji akan mencari tahu semua hal tentangmu, William. Tak sedikit pun kisah yang akan tertinggal yang harus kuketahui tentang kau.

William kemudian tersenyum padaku sembari melambaikan tangan dan berjalan ke arahku.

William, jangan katakan kau ingin menghampiriku. Aku mohon William, berhentilah. Batinku gelisah.

William seakan tak peduli dengan kata batinku. Dia terus saja mendekat kearahku. Aku benar-benar ingin pingsan. Jika aku benar-benar pingsan, pasti William akan menggendongku dan membawaku kerumahnya. Hehehe..

William semakin dekat.

William, kumohon, jangan mendekat. Atau kau akan kubunuh. Huwaaaaa… bagaimana ini? Lututku mulai tidak sekokoh sedetik yang lalu. Mungkin aku menderita ostheoporosis mendadak. Dan sebentar lagi akan terkena serangan jantung. Atau aku akan terkena yang namanya sudden death. Arggh… ntahlah.

“hai,” sapa William mulai makin dekat.

Oh, William, jangan mengatakan apa-apa. Aku tak sanggup mendengar suaramu yang indah itu. Bulu kudukku seakan mau rontok ketika mendengar kau berbicara. William, berhentilah.

William sudah dekat. Dan aku mulai menutup mataku, aku tak sanggup untuk melihatnya. Aku benar-benar gugup.

“hai, Tom! Bagaimana keadaanmu?” Tanya William pada seorang lelaki yang berdiri tepat dibelakangku.

Fiuhh, hampir saja.

Hahaha… dasar Margareth. Kau terlalu percaya diri, mustahil seorang William ingin menyapamu. Sadarlah Margareth, batinku mengeluh.

“hallo! Kenapa kau menutup matamu?” Tanya George kepadaku.

“oh, itu. Ini… ehm, ada sedikit debu masuk kemataku,” ucapku terbata-bata.

“oh, jadi bagaimana dengan tawaranku?”

“IYA. AKU MAU!” sahutku dengan penuh semangat.

Setidaknya, frekuensiku bertemu dengan William dapat lebih intens.

15


Aku sampai ke kampus tepat ketika aku bertemu Emily yang sedang jalan berdua dengan Peter. Seperti yang pernah aku katakan sebelumnya, mereka pasti balikan lagi. Dasar anak muda zaman sekarang.

“hai Gareth! Bagaimana kabarmu? Kemaren aku menjengukmu, tapi kau sedang tidur,” sapa Emily padaku.

“Emily, berhentilah memanggilku Gareth. Ini kampus, Emily,” ucapku kesal.

“hahaha… ayolah Gareth, itu kan nama kamu. Akui sajalah.”

“terserah,” ucapku sembari meninggalkan Emily.

Aku meninggalkan Emily dalam keadaan kesal, namun aku masih bisa member senyum kepada Peter yang sedari tadi berada di samping Emily.

Yeah, hari pertama masuk kampus. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Semoga saja aku bisa cepat-cepat beradaptasi dengan lingkungan yang pastinya memaksa aku untuk menyesuaikan diri dengan mereka.

Tante Molly ternyata seorang pembohong besar, aku harap Tuhan khilaf dan membiarkan ia masuk surga. Sebab ia telah membohongiku dengan mengatakan bahwa di kampusku akan banyak mahasiswa asing dari Asia. Namun ternyata, aku lebih banyak melihat orang-orang negro. Mungkin mereka dari Afrika. Melihat mereka, aku jadi ingat sama film The God Must Be Crazy. Hahaha…

Sekadar informasi, presiden Amerika Serikat yang ke-44, Barack Obama yang juga pemenang anugerah penghargaan Nobel Perdamaian karena mempromosikan diplomasi internasional untuk memecahkan masalah-masalah internasional pernah mengajar hukum konstitusional di sekolah hukum di kampusku sejak tahun 1992 sampai 2004.

Seharusnya aku mengambil jurusan hukum, agar aku bisa menapaki jejak-jejak Obama yang tertinggal di sini. Tapi aku mengambil jurusan Keuangan, sama seperti Emily dan Peter. Mungkin kami akan sekelas, dan aku harap itu tidak terjadi. Sebab aku sudah bosan berada satu kelas dengan Emily dan Peter sejak Tk. Aku muak menjadi penengah antara hubungan mereka yang aneh itu.

Sebenarnya aku lebih suka dengan jurusan Liberal Arts karena aku tertarik sekali sama semua hal yang berhubungan dengan seni. Termasuk photography yang sudah lama kugeluti. Sejak dulu, aku bercita-cita menjadi seorang fotografer spesialis landscape hitam-putih tanpa manipulasi seperti Ansel Adams. Dia sungguh beruntung, karya-karyanya terjual dengan harga 300juta, paling mahal 1,35 miliar dan yang paling murah 80juta. Tapi papa malah memaksaku untuk mengambil jurusan Keuangan. Mungkin papa ingin aku agar dapat menghitung jumlah uang-uang yang ia punya. Mungkin.