Aku baru saja melihat pengumuman yang mengatakan bahwa aku berada di kelas A sementara Emily dan Peter berada di kelas B. Yes, akhirnya Tuhan mengabulkan harapanku.
“Margareth?”
Tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkanku.
“ya, namaku Margareth,” ucapku pada seorang lelaki jangkung yang mengenakan Grey Cardi Sweater.
“selamat ya! Aku dengar kau meraih penghargaan The Iconique Societas Excellence di Landscape Photography,” ucap lelaki itu sembari menjabat tanganku.
“ya, terimakasih. Tapi, darimana kau tahu?”
“sebab aku juga mengikuti kompetisi itu. Tapi sayangnya, aku tidak seberuntung kau. Oh ya, namaku George. Salam kenal.”
“Margareth.”
“Margareth, apakah kau ingin bergabung dalam klub fotografy kami?”
“klub fotografy? Bukankah aku anak Keuangan, apakah hal tersebut tidak tampak terlihat aneh?”
“tenang saja, klub kami terbuka untuk mahasiswa dari jurusan manapun. Perlu kau ketahui bahwa ketua yang baru saja terpilih adalah mahasiswa kedokteran. Itu dia orangnya,” celoteh George sembari menunjuk seorang pria yang beberapa meter berdiri menghadap kami.
WILLIAM??? OH MY GOD, batinku menjerit.
Ini benar-benar gila, ternyata ada hal-hal lain dari William yang tak kuketahui. Aku tak tahu bahwa William juga menyenangi dunia fotografy. Mulai sekarang, aku janji akan mencari tahu semua hal tentangmu, William. Tak sedikit pun kisah yang akan tertinggal yang harus kuketahui tentang kau.
William kemudian tersenyum padaku sembari melambaikan tangan dan berjalan ke arahku.
William, jangan katakan kau ingin menghampiriku. Aku mohon William, berhentilah. Batinku gelisah.
William seakan tak peduli dengan kata batinku. Dia terus saja mendekat kearahku. Aku benar-benar ingin pingsan. Jika aku benar-benar pingsan, pasti William akan menggendongku dan membawaku kerumahnya. Hehehe..
William semakin dekat.
William, kumohon, jangan mendekat. Atau kau akan kubunuh. Huwaaaaa… bagaimana ini? Lututku mulai tidak sekokoh sedetik yang lalu. Mungkin aku menderita ostheoporosis mendadak. Dan sebentar lagi akan terkena serangan jantung. Atau aku akan terkena yang namanya sudden death. Arggh… ntahlah.
“hai,” sapa William mulai makin dekat.
Oh, William, jangan mengatakan apa-apa. Aku tak sanggup mendengar suaramu yang indah itu. Bulu kudukku seakan mau rontok ketika mendengar kau berbicara. William, berhentilah.
William sudah dekat. Dan aku mulai menutup mataku, aku tak sanggup untuk melihatnya. Aku benar-benar gugup.
“hai, Tom! Bagaimana keadaanmu?” Tanya William pada seorang lelaki yang berdiri tepat dibelakangku.
Fiuhh, hampir saja.
Hahaha… dasar Margareth. Kau terlalu percaya diri, mustahil seorang William ingin menyapamu. Sadarlah Margareth, batinku mengeluh.
“hallo! Kenapa kau menutup matamu?” Tanya George kepadaku.
“oh, itu. Ini… ehm, ada sedikit debu masuk kemataku,” ucapku terbata-bata.
“oh, jadi bagaimana dengan tawaranku?”
“IYA. AKU MAU!” sahutku dengan penuh semangat.
Setidaknya, frekuensiku bertemu dengan William dapat lebih intens.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar