Selasa, 15 Juni 2010

9


-->
Tapi sayangnya, sudah lima menit berlalu, hujan belum juga reda. Bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa hujan akan berakhir. Dan aku masih akan tetap berdiri di sini, tentu saja bersama Wilgeth.
Tak jauh dari tempatku berdiri, ada sepasang manusia yang sedang asyik mengobrol. Sepertinya mereka berpacaran, ini terlihat dari cara bicara mereka yang mesra. Huh… mengapa aku harus menyaksikan semua ini. Apakah mereka tahu kalau aku belum pernah pacaran dan berusaha mempertontonkan semua adegan itu padaku dengan tujuan agar aku iri pada mereka. Dasar manusia-manusia kejam. Tapi tunggu dulu, sepertinya aku sangat mengenal suara pria itu. Ya, aku sangat mengenalnya, kenal sekali.
Dengan perasaan yang harap-harap cemas, aku berusaha menoleh ke arah sepasang kekasih itu. Ya, benar dugaanku, aku memang teramat mengenali pria itu. Dia adalah William. Oh… Tuhan, mengapa Kau harus memberikan aku cobaan seberat ini. Mengapa aku harus melihat dia seperti ini. Rasanya aku ingin bunuh diri saja.
Aku hampir saja menangis tepat ketika Wilgeth berlari di tengah derasnya hujan.
“Wilgeth!!! Tunggu!!!” teriakku sembari mengejar Wilgeth.
Wilgeth tak peduli, dia tetap saja berlari di antara rintikan hujan. Dan aku masih mengejarnya. Aku benar-benar gila. Ya, sekarang aku benar-benar gila. Aku menangis sekencang-kencangnya, meskipun tangisku tak mampu menyaingi suara hujan yang lebat dengan gemuruh-gemuruh yang dahsyat.
“WILLIAM!!! KENAPA AKU HARUS MENYUKAIMU???” teriakku di tengah hujan.
Ini sudah kesekian kalinya aku menangis karena dia. William hebat, dia adalah lelaki pertama yang berhasil membuat aku menangis sebab tak sanggup menahan sakit hati. Namun, tetap saja aku tak berhasil mengenyahkan dia dari hatiku. Kau benar-benar mengganggu hidupku, William.
Akhirnya, aku dan Wilgeth sampai di rumah dalam keadaan yang mengenaskan. Aku tak peduli dengan tubuhku yang basah kuyup, aku hanya harus membawa Wilgeth menuju ruang tengah sebab aku perlu bicara empat mata pada Wilgeth.
“Wilgeth, mengapa kau lari begitu saja? Kau sendiri tahu ‘kan kalau aku bukan anak umur sepuluh tahun lagi yang masih membawamu untuk bermain hujan. Lagipula sekarang sudah malam, tidak ada anak kecil yang bermain hujan bersama anjingnya saat ini,” ucapku kesal.
Wilgeth hanya memandangku sembari menunduk-nunduk dan mengeluarkan bunyi-bunyian yang aku tahu bahwa itu artinya Wilgeth sedang merasa bersalah.
“atau… kau takut aku menangis di hadapan William saat aku melihatnya bersama kekasihnya tadi?” tanyaku lagi.
Wilgeth menunduk sembari menggonggong sekali.
“Wilgeth, kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja, aku tidak akan mau menangis lagi,” ucapku sembari memeluk Wilgeth.
Wilgeth memang anjing yang baik, dia sangat mengerti aku. Mungkin Wilgeth adalah jodohku yang sebenarnya yang diciptakan Tuhan. Ya, aku harus mencium Wilgeth agar dia berubah menjadi seorang pengeran yang tampan. Dan aku harap pangeran itu adalah William. Arrgggggghh……..
Aku harap, William tidak menyadari bahwa gadis yang berdiri disampinya tadi adalah aku. Atau mungkin William sudah lupa padaku. Atau dia memang tidak menyadari bhawa ada satu manusia menyedihkan berdiri tepat disampingnya. William , kau perlu membuka mata hatimu agar kau bisa melihat aku.
Sudahlah Margareth, berhentilah berandai-andai. Sekarang waktunya kau membersihkan tubuhmu dan pergi tidur.
Lagi pula, aku sudah kehilangan rasa hausku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar