Kamis, 07 Oktober 2010

momentum 3

Kini aku harus bersama mama, menemaninya di rumah sakit. Kondisi mama makin buruk, beliau bahkan tak sanggup lagi berjalan. Aku membantu mama, memapahnya ke kamar mandi di kala beliau ingin buang air. Membasuh tubuhnya di sore hari.

Aku sedih, tubuh mama hanya tinggal kulit pembalut tulang. Tak ada lagi tubuh kokoh seperti dahulu.

Mama mungkin mulai kecewa. Beliau selalu menanyakan bagaimana pendapatku mengenai kondisi tubuhnya yang semakin rapuh. Aku tak dapat menjawab apa-apa. Aku takut mama bakal sedih mendengar pernyataan jujur dari mulutku, namun aku tak punya hati untuk berkata yang bukan sebenarnya.

Mama sering termenung, aku bahkan tak tahu sesuatu apa yang mungkin sedang dipikirkannya.

Aku masih belum memahami apa sebenarnya penyakit yang di alami oleh mama sampai akhirnya aku tahu sedikit bahwa mama telah mengidap banyak penyakit. Aku tak tahu apa nama dari masing-masing penyakit itu. Yang aku tahu, mama sering mengeluh di bagian perut, dada, tenggorokan dan kaki. Namun aku masih tidak menghiraukan hal itu dan menganggap semuanya akan baik-baik saja.

Aku banyak menghabiskan waktu untuk mengurus mama. Seharusnya aku ikut bimbingan intensive untuk mempersiapkan diri mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri tahun berikutnya. Tapi mama lebih membutuhkan aku. Aku harus bergantian dengan papa untuk menjaga mama sebab papa juga memiliki pekerjaan yang harus beliau selesaikan.

Dokter sempat mengatakan bahwa mama terlalu banyak berpikir, dan aku segera tersadar bahwa aku adalah penyebab dari segala penyakit mama. Bukannya tanpa alasan, mama masuk rumah sakit setelah mengetahui aku gagal masuk perguruan tinggi negeri. Bahkan sebelumnya aku dan mama terjebak dalam pertengkaran hebat yang masing-masing dari kami tetap kokoh mempertahankan argumen masing-masing. Aku sempat menangis sejadi-jadinya saat itu. Sebab perkataan mama begitu tepat menusuk hatiku. Dan aku tahu, bahwa aku adalah orang yang sangat bersalah dalam masalah yang aku buat sendiri. Aku juga sempat diusir berkali-kali oleh mamaku akibat ketidakpatuhanku pada beliau. Iya, itu wajar sebab aku memang sudah keterlaluan terhadap beliau. Tapi hal yang tak wajar adalah kerap kalinya aku membuat mamaku menangis karena sikap burukku. Aku tahu, aku jahat, aku menyesal.

Aku juga sempat menanyakan hal tersebut kepada mamaku secara pribadi, hal yang menyebabkan mama masuk rumah sakit. Dan hal itu adalah aku. Tapi mama menjawab bahwa semua yang terjadi di dirinya tidak ada hubungannya denganku. Aku tidak peduli, aku terus mendesak mama untuk berkata jujur. Beliau terdiam. Dan aku sudah tahu jawabannya.

Mama pulang ke rumah setelah hampir dua minggu berada di rumah sakit. Ini bukan berarti keadaan mama jauh lebih baik dari sebelumnya. Beliau tetap saja lemah, mama bahkan tak sanggup mengangkat kakinya. Tapi mama masih beruntung, memiliki suami yang setia seperti papa yang tak pernah meninggalkan mama bahkan pada saat mama dengan kondisi yang benar-benar melebihi ambang batas pemikiran kita. Tapi bagi papa, kecantikan mama tak pernah pudar walau dalam bentuk yang sedemikian rupa sekalipun.

Beberapa hari kemudian papa pergi untuk mengikuti penataran selama seminggu. Dan aku hanya tinggal di rumah bersama mama serta adik perempuanku.

Setiap hari begini, menyiapkan sarapan mama, memapah mama dan memandikannya dengan air hangat, memakaikannya baju dan kemudian membiarkannya terlentang sejenak di atas tempat tidur. Siang harinya, aku juga harus menyiapkan makan siang buat mama, tak lupa juga dengan obat-obatnya. Sore harinya, aku kembali memapah mama dan memandikannya dengan air hangat serta memakaikannya baju.

Mama menangis.

Beliau memelukku dan berkata bahwa aku harus tabah serta sabar merawatnya.

Tapi aku tetaplah aku. Aku berontak. Aku tidak mampu menerima kenyataan hidup bahwa memang beginilah keadaan hidup keluarga kami. Sehingga menyebabkan mamaku kembali lagi ke rumah sakit.

Waktu itu aku tidak mempedulikan mama lagi. Aaku tak mau mendengar lagi apa yang dikatakan mama. Aku membentak mama dengan kata-kata kasar yang menyebabkan mama memilih diam dan tak menyuruhku berbuat apa-apa lagi.

Ada rasa sesal di hatiku, namun karena rasa gengsiku yang terlalu tinggi dan anggapan bahwa aku adalah benar. Maka tak ada sedikit pun kata maaf yang terlontar dari bibirku untuk mama.

Aku masih melihat mama berjalan tertatih-tatih sembari memegangi dinding menuju kamar mandi. Tapi aku tak mempedulikan mama. Aku masih saja asyik menonton siaran televisi. Sampai akhirnya mama teriak dalam kesakitannya dan aku segera melompat, berlari menuju kamar mandi. Ternyata mama terperosok ke dalam lubang pembuangan air besar. Aku menarik mama dan membawanya keluar dari kamar mandi.

Aku masih saja memarahi mama karena kecerobohannya yang menyebabkannya terperosok. Mama kemudian hanya memandangku dengan tatapan yang penuh dengan kekecewaan. Sampai akhirnya mama kembali muntah darah.

Aku segera menelepon papa dan menyuruhnya untuk segera pulang sebab keadaan mama sedang gawat.

Papa pulang dan lalu membawa mama ke rumah sakit. Papa tidak memarahiku, beliau juga memandang kecewa terhadapku. Aku menyesal, sungguh menyesal.

Aku ingat betul, mama telah dua kali masuk rumah sakit dalam sebulan. Dan itu membawaku ke dalam pemberontakan yang lebih dahsyat. Aku mengutuki Tuhan yang tak pernah adil bagi keluarga kami. Namun aku salah, aku melampiaskan segala kemarahanku terhadap mamaku. Aku menganggap mama adalah manusia yang paling bodoh yang mau menerima begitu saja cobaan semacam ini dari Tuhan-nya yang selalu dia puji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar