Kamis, 07 Oktober 2010

momentum

Sebenarnya tak ada kata-kata yang teramat pilu yang mampu mewakili semuanya ini. Dimana tak ada kebahagiaan yang menyeruak di setiap sendi-sendi kehidupannya. Wanita tangguh ini pun tenggelam dalam nelangsa yang tak memiliki dasar untuk berbaring.

Aku tak tahu seberapa hebat badai yang menghantam bahtera hidupnya yang tak pernah berlabuh pada tepian yang panjang. Tapi dia tetap saja yakin akan ada penolong yang mampu mengubah perjalanan pahit hidupnya menjadi terasa semanis madu. Namun sayang, itu takkan pernah terjadi dan dia masih saja percaya ada secercah pengharapan yang begitu indah dari Tuhan-nya.

Kisah ini bermula dari sini, dari seorang wanita hebat yang menanti kapan mukjizat itu akan datang dan sesegera mungkin menerangi kehidupannya yang gelap.

Aku tak pernah tahu serinci apa jalan kehidupannya, namun apa yang kutuliskan ini tak sebanding dengan kehidupannya yang sebenarnya.

Yang aku tahu, dia mengidap Diabetes Melitus yang telah dialaminya sejak 14 tahun yang lalu. Aku mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang dideritanya saat itu. Yang jelas kehidupannya sudah tak sama lagi seperti sebelumnya.

Aku ingat, dia pernah hanya memakan kentang rebus yang sangat hambar dan tak mengenakkan, aku pernah merasakannya. Namun dia memakannya dengan penuh kenikmatan sebagaimana layaknya memakan roti yang lezat dengan sekerat keju. Dan masih ada ucapan syukur yang terlontar dari mulutnya untuk Tuhan-nya itu.

Dia adalah mamaku, mama yang sangat aku sayangi yang selalu aku sia-siakan keberadaannya. Namun mama tetaplah mama yang hebat, tiada pernah ada kata dendam buat anak durhaka seperti aku.

Aku tahu bagaimana menderitanya hidupnya melawan penyakit yang seolah-olah bak pencuri yang diam-diam menyergap di tengah malam yang sepi lalu merampas segala apa yang dia miliki hingga meninggalkan kepedihan yang mendalam.

Mama telah banyak melewati penderitaan yang sedemikian rupa, namun aku masih saja pura-pura tak mengetahuinya dan beranggapan semuanya akan baik-baik saja, tapi tidak begitu keadaannya.

Waktu itu, mama seharusnya datang ke sekolahku untuk mengambil rapor kenaikan kelas. Tapi mama tidak dapat hadir sebab mama sedang dirawat di rumah sakit akibat pendarahan pada lambungya. Aku yang pada waktu itu baru duduk di bangku kelas dua SMP masih beranggapan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun ternyata, itu adalah awal dimana mama selalu masuk rumah sakit.

Perjuangan untuk tetap hidup pun baru dimulai. Ya, mama selalu mengalami kesakitan. Tubuhnya pun kian kurus, namun semangat dan keyakinannya pada waktu yang tepat yang dijanjikan kepadanya pun semakin mengobarkan jiwanya untuk terus berjuang melawan penyakit. Entah siapa yang menjanjikan hal itu pada mama, namun beliau yakin akan adanya mukjizat yang entah dari siapa.

Jujur, aku tidak tahu apa-apa dan tidak mengingat apa-apa lagi. Mama tidak pernah mengatakannya padaku segala apa yang dideritanya pada waktu itu. Beliau hanya menyuruhku tetap semangat melanjutkan pendidikanku.

Sampai pada jenjang dimana aku mulai menapaki bangku SMA, mama masih setia menemaniku dengan semangatnya dan masih saja ada banyak obat yang menemani harinya.

Mama adalah seorang guru. Dan bagiku, beliau adalah guru yang luarbiasa. Mama masih saja memaksakan dirinya untuk mengajar walau dalam kondisi yang memprihatinkan. Waktu itu mama masih berjabat sebagai guru bantu. Namun pengalamannya mengajar tidak perlu diragukan lagi sebab mama telah terjun ke dunia itu sejak beliau duduk sebagai mahasiswa tingkat dua. Mencari uang demi tambahan uang kuliahnya.

Sebenarnya mama ingin sekali menjadi seorang hakim, namun keadaannya tak membiarkannya untuk melakukan apa yang dicita-citakannya. Beliau sempat bercerita kepadaku bahwa dia pernah menangis semalam agar dibolehkan untuk memilih fakultas hukum. Namun tetap saja tak ada yang mau peduli.

Mamaku sayang, beliau masih tetap hidup dalam keikhlasan padahal jiwaku sendiri telah berontak mendengar kisah-kisahnya. Mama tidak bermaksud menanamkan benih dendam kepadaku, beliau hanya butuh seseorang untuk melampiaskan apa yang ada dihatinya. Tapi mengapa mereka tak ada yang mau peduli? Hingga pada saat mama menikah, banyak sekali kontra yang terjadi. Banyak pihak yang tidak setuju atas semuanya itu. Hanya karena masalah suku. Dan aku pikir, adalah hal yang terlalu picik jika menilai seseorang melalui sukunya. Namun mama tetap tegar dan membiarkan segalanya mengalir bagai air.

Mama hebat, bahkan disaat beliau sedang mengandung anak pertama, beliau tetap saja bekerja di sawah bersama papa. Menahan panasnya terik matahari demi sesuap nasi buat keluarga. Begitu pun saat mama sedang mengandung aku. Dia masih saja harus bekerja keras sebab kehidupan saat itu memang sulit.

Sangat banyak perkataan yang menyakitkan yang terlontar dari mulut mereka untuk mamaku. Hinaan bahwa mamaku tak bisa membesarkan anak dengan baik, aku yang akan lahir dengan cacat karena tak cukup asupan gizi. Dan banyak lagi yang kesemuanya itu menggoreskan luka yang dalam di hati mamaku.

Beliau tidak pernah dendam sama sekali. Dia hanya menyerahkan segala kesedihannya kepada Tuhan dan membiarkan Tuhan yang bekerja atas hidupnya. Dan aku sadar bahwa aku terlahir semata-mata hanya karena anugerah Tuhan yang maha kuasa, begitu kata mama kepadaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar