Natal tahun ini pun masih sama seperti natal tahun kemaren. Tak ada yang istimewa.
Mama berusaha membangkitkan semangat natal yang tinggal separuh dengan mengajak kami bersama-sama menghias pohon natal. Aku tahu sebenarnya hati mama juga pedih , namun beliau berusaha menutupi segala kegalauan hatinya. Sebab mama tahu kalau itu semua hanya menambah luka di hati.
Suasana rumah kembali ceria seperti dulu lagi. Papa begitu bersemangat memasang ranting-ranting pohon natal tersebut bersama adikku. Dan aku sibuk menyusun hiasan yang akan ikut serta dipasang pada pohon natal itu. Sementara mama hanya memberi petunjuk bagaimana memasang pohon natal yang benar dari jarak yang tidak terlalu dekat sebab mama tidak tahan terkena debu. Maklumlah, kami hanya mengeluarkan pohon natal setiap bulan Desember. Oleh karena itu, banyak debu yang akan tertempel selama setahun. Sedangkan mama memiliki gangguan pada paru-parunya sehingga beliau sensitif terhadap debu.
Natal tahun ini pun mama masih melewatinya dengan segala obat-obatan dan pemeriksaan kesehatan ke rumah sakit. Yeah, walaupun begitu, mama masih mensyukurinya.
Aku masih ingat, mama selalu mengucap syukur karena beliau masih diberi kesempatan untuk merayakan natal dan tahun baru. Setiap malam tahun baru, kami selalu mengadakan acara pembukaan tahun tepat pukul dua belas pagi. Mama dengan tersedu-sedu memohon maaf atas kesalahannya selama setahun yang telah berlalu. Dan memiliki harapan Tuhan masih memberikan beliau kesempatan untuk merayakannya kembali tahun depan, seolah mama memiliki umur yang tak panjang lagi.
Dan aku masih sama, aku tak peduli Tuhan. Aku tak peduli apa rencana Tuhan. Yang aku tahu, Tuhan hanya pembawa bencana. Tidak ada yang bisa aku kagumi dari Tuhan yang acap kali membuat keluarga kami sengsara.
“Tuhan menciptakan segala sesuatunya indah pada waktunya”. Kata-kata itu sungguh tidak memiliki arti apa-apa buatku.
Tidak ada yang indah di sini, tidak ada kebahagiaan di sini. Aku tahu aku salah, aku juga tak bisa memaksakan orang lain untuk sependapat denganku. Tapi, apa yang akan kau lakukan jika kau ada di posisi seperti sekarang ini ketika harapan itu muncul namun tak ada yang berharga yang patut diharapakan?
Dan ketika semua orang mengasihani kamu layaknya seorang yang mustahil untuk hidup normal kembali, apa yang akan kau lakukan?
Aku hanya ingin mereka tahu bahwa ini tidak mudah. Menjalani hidup melawan penyakit dan melawan rasa minder dari pergaulan yang mulai menjauh. Aku tahu, ini sangat tidak mudah. Ketika kau ingin berjuang melawan penyakit itu namun anak-anakmu sama sekali tak memberi dukungan dan tak mau bekerja sama, bahkan mereka sibuk dengan ego-ego mereka. Aku tahu ini tidak mudah dan aku tahu semua itu terjadi pada mamaku. Dan aku sebagai anak yang menjunjung tinggi egoku sendiri. Aku tahu, tak ada yang menyenangkan. Bodohnya aku, aku melakukan kesalahan-kesalahan itu setiap harinya. Mamaku menangis, aku tahu itu. Tapi kenapa masih saja aku melakukannya? Bodoh.
Aku mengikuti lagi seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri. Kali ini, ada dua seleksi yang aku ikuti. Yang pertama, mereka menyebutnya UMB (Ujian Masuk Bersama). Ini kali pertama diadakan UMB, dimana hanya lima universitas yang ikut berpartisipasi, kalau aku tidak salah.
Dan hasilnya, aku gagal lagi. Masih karena egoku yang tinggi. Aku memilih jurusan yang mustahil untuk aku raih.
Mama…, beliau masih saja memberi semangat padaku serta membesarkan hatiku agar aku bisa menerima hasilnya dengan lapang dada. Seharusnya aku yang meminta maaf pada mama dan memberi beliau pengertian sebab telah berapa banyak biaya yang aku habiskan untuk keperluan bimbinganku, namun tetap saja aku gagal. Dan mama sama sekali tak mengungkit masalah itu. Bahkan beliau yang meminta maaf padaku. Seharusnya, anak seperti aku dibunuh saja sebab memang tidak pantas untuk hidup jika hanya sebagai parasit.
Yeah, aku memang parasit dalam keluargaku. Aku selalu menuntut dan menuntut, aku tahu itu. Namun, sangatlah gengsi jika aku mengakui semua hal itu. Ya, itu kelemahanku, malu mengakui kesalahanku dan sama sekali tak mau mengubahnya menjadi lebih baik.
Lalu aku mengikuti seleksi untuk kedua kalinya yang mereka sebut SNM PTN. Pada seleksi ini, aku menyadari kelemahanku itu. Dan aku tak ingin dianggap lebih idiot dari keledai yang tak pernah mau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Kali ini, aku meminta saran mama untuk memutuskan jurusan apa yang seharusnya aku pilih. Dan mama menyuruhku mengambil jurusan Pendidikan Fisika. Dengan berat hati aku harus mengambil itu, tapi tetap saja pilihanku yang sebenarnya aku tempatkan sebagai prioritas pertama sementara pilihan dari mama aku tempatkan sebagai prioritas ketiga atau terakhir.
Apa yang terjadi selanjutnya, aku lulus. Namun pada pilihanku yang terakhir yaitu jurusan yang direkomendasikan mamaku. Jujur, aku sedikit kecewa sementara mama, beliau sangat gembira. Aku bingung, sebenarnya siapa yang lulus? Sebab kegembiraan yang diekspresikan oleh mama melebihi kegembiraanku yang aku tahu bahwa aku sama sekali tak bergembira akan hal itu.
Dari sini aku menyadari bahwa mama memiliki kekuatan yang luar biasa. Ternyata selama ini mama mendoakan agar aku lulus pada pilihanku yang ketiga sebab beliau tak ingin jauh dariku. Alasan yang sedikit masuk akal tentunya.
Akhirnya aku adalah seorang mahasiswi.
Aku ingin terlihat bangga dan bahagia atas kelulusanku ini. Namun, tak ada alasan yang bisa memupuk kebahagiaan itu. Aku sama sekali tak bahagia atas kelulusan ini.
“Rahasia kebahagiaan bukanlah melakukan apa yang kita sukai tetapi menyukai apa yang kita lakukan”.
Hanya kalimat tersebut yang menjadi pengobat kekecewaanku. Dan kegembiraan mama…Aku tahu ini tidak mudah.
Aku mulai menjalani masa perkuliahanku. Aku pikir, setelah ini semua akan baik-baik saja. Mungkin ini yang dikatakan sebagai rancangan indah dari Tuhan, aku harap seperti itu.
Mama disembuhkan dan kembali bekerja, itu harapanku.
Namun apa yang terjadi? Tak ada yang berubah, sedikitpun tidak. Hanya waktu yang terus berubah semakin kejam. Padahal orang bijak mengatakan bahwa waktu adalah obat yang paling mujarab, namun kenyataannya waktu adalah racun yang paling mujarab.
Kenyataan pahit tersebut pun harus kami terima bulat-bulat. Hanya berpasrah diri padaNya tanpa keterangan yang pasti. Jujur, aku benci berada diposisi yang seperti ini. Kenapa harus keluarga kami?
Dan hal yang tak kuinginkan tersebut pun kembali terjadi. Ini adalah awal.
Yeah, awal dari pengalaman rohaniku dan mungkin adalah awal dari sesuatu yang lain yang aku sendiri pun belum mengetahuinya.
Hari Sabtu tepat pukul 07.00Wib pada tanggal 9 Mei 2009. Aku mengikuti orientasi paduan suara di kampusku tercinta. Namun sebelum aku sampai di kampus, tiba-tiba saja handphoneku berbunyi. Ternyata ada sebuah pesan dari papa, begini isinya :
“ Ruth, ke tempat nantulang sekarang. Mama stress, cepat nang.”
Sontak aku berpikir untuk putar haluan.
Oh… Tuhan , benarkah ini? Batinku bertanya.
Sebab sejauh yang aku tahu, orangtuaku mengikuti diklat selama sepekan ini. Dan hal itu mustahil terjadi pada mamaku. Tapi akhirnya aku pergi juga ke rumah nantulangku tersebut. Setelah sebelumnya aku meminta izin pada seniorku, untungnya mereka mengerti dan mencoba menabahkan hatiku.
Aku sampai di rumah nantulangku.
Aku pikir semuanya akan terasa mencekam seperti apa yang tengah kupikirkan saat itu. Tapi apa yang kudapatkan?
Semuanya begitu biasa. Tidak ada hal-hal aneh, seperti tangis yang mengharu biru atau pelukan kesedihan layaknya suasana pemakaman. Atau apalah yang dapat menciptakan kekhawatiran yang luar biasa pada orang-orang yang berada dalam rumah tersebut.
Papa dan mamaku tidur di kursi tamu, disampingnya ada koper besar tempat pakaian. Mungkin dari tempat diklat, mereka langsung menuju ke rumah nantulangku tanpa terlebih dahulu pulang ke rumah. Sebab rumah nantulangku lebih dahulu ditemukan ketimbang rumah kami sendiri.
Yeah, suasana yang kupikir biasa-biasa saja tiba-tiba berubah tepat ketika mama bangun dan…
Oh… my God. Lagi-lagi aku mengucap nama Tuhan dan mungkin takkan berhenti dalam sehari itu.
Mama yang kukenal berwibawa, tegas, bijaksana dan berintelektual itu tiba-tiba berubah menjadi orang yang tak kukenal walau dalam wujud serupa. Beliau berbicara dengan poster david Beckham, menggosip di kamar mandi berjam-jam, tertawa-tawa melihat orang-orang yang melintas di depan rumah, dan banyak lagi hal-hal yang aneh yang janggal yang sering dilakukan oleh mama.
Oh my God, aku masih tak percaya.
Papaku bilang, hal itu dimulai sejak hari kamis. Aku pikir mereka sedang berpura-pura untuk mengelabuiku sebab lima hari sebelumnya adalah hari ulangtahunku yang kedua puluh. Jika hal itu memang tujuan mereka, maka mereka sukses besar membuat aku menangis seharian. Tapi ini sungguhan.
Aku menangis.
Dan aku jamin, ini bukan tangis tunggal. Masih akan ada banyak lagi tangis-tangis yang bakal kuproduksi dalam sehari itu. Tapi mamaku, dia hanya tertawa dan tertawa. Beliau tidak bisa menangis.
Mama yang kukenal penuh iba, melankolis dan mudah menangis. Tiba-tiba saja menjadi wanita aneh (seperti orang gila).
Aku masih terus menangis. Dan aku baru menyadari bahwa air mataku itu dapat memenuhi danau toba jika tak ada airnya.
Akhirnya, hari sudah mulai gelap. Aku balik ke kostku dengan hati galau. Meninggalkan mamaku yang tengah asyik menceritakan perjanjian lama, perjanjian baru, alquran, SBY, Soekarno, pemekaran Sergei dan lain-lain secara berantakan. Sebab ada sesuatu yang aku harus kerjakan di tempat kostku itu. Sesuatu yang tertunda.
Dalam perjalanan pulang, aku masih tak bisa mengusir air mata yang jatuh di pipiku. Aku biarkan saja dia mencuci wajahku. Aku juga tak peduli dengan orang-orang sekitarku. Mereka tak mengerti. Mungkin mereka pikir kalau aku sedang bertengkar dengan pacarku sebab malam itu adalah malam minggu. Aku sungguh tak peduli mereka.
Setibanya di kost, aku masih menangis walau kakak PA (Pendalaman Alkitab) memberikan sedikit aufklarung dan membacakan firman Tuhan untukku. Aku masih menangis sejadinya, aku hanya tahu bahwa mereka semua tidak tahu betapa banyak cobaan yang dihadapi mamaku. Seandainya bisa, aku ingin memberikan semua berkatku pada mama, agar beliau bisa merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Tapi kenapa hal itu tak terjadi?
Apakah memang aku tak punya berkat untuk diberikan kepada mamaku?
Sebelum beranjak dari kamarku, kakak PA- ku mengingatkan aku agar ke gereja pada esok hari. Tapi aku tak bergairah untuk memberikan waktuku buat Tuhan.
Untuk apa??? Toh TUhan tidak peduli lagi pada hidupku dan keluargaku, batinku.
Aku sempat berkata dalam hati,” Ya Tuhan, sekarang segalanya aku serahkan padaMu. Aku tak peduli lagi pada semuanya. Karena Engkau telah membuat hidupku berantakan.”
Aku tahu itu berdosa, aku telah mendukakan Tuhan. Namun aku tak peduli.
Esok harinya, ternyata roh kudus masih berdiam di dalamku. Aku pergi ke kamar kakak PA-ku, dan menerima tawarannya untuk pergi ke gereja bersama-sama. Sumpah, kakak PA tersebut begitu senang. Aku sempat berpikir pasti Tuhan juga sangat senang mendengar keputusanku.
Di gereja, firman Tuhan hari itu mengenai pergumulan. Tepat seperti apa yang aku rasakan. Aku sempat terperanjat ketika sang pendeta berkata seperti ini: "Saudara-saudara, apapun masalah yang Saudara hadapi sekarang. Baik itu ringan maupun berat, jika anda menyerahkan segala persoalan anda hanya padaNya. Saya jamin, sehabis dari tempat ini, semua persoalan anda akan terselasaikan karenaNya.”
Yeah, aku mengaminkan pernyataan itu dalam hati. Kakak PA-ku tersenyum sembari menggenggam erat tanganku.
Aku kembali lagi ke rumah nantulangku, suasana tampak sepi. Hanya ada papa dan tiga sepupuku yang masih kecil-kecil. Sebenarnya mama beserta nantulang, adik dan dua orang sepupuku lainnya masih mengikuti kebaktian di gereja yang tak jauh dari rumah nantulangku tersebut.
Selang beberapa menit, akhirnya mereka pulang juga. Dan apa yang terjadi?
Sesuatu yang luar biasa yang sedang kusaksikan pun melenyapkan segala kekhawatiranku. Ini benar-benar ajaib, mamaku sadar kembali. Beliau mengenaliku sebagai anaknya. Setelah sebelumnya beliau mengataiku sebagai Pinkan Mambo.
Oh… thanks God. You are still the most magical in this world. Terlebih-lebih di kehidupanku.
Mamaku kembali lagi seutuhnya mamaku. Dan aku harap, hal yang menyakitkan itu takkan terjadi lagi.
Aku menceritakan semua kejadian kemaren pada mamaku. Mama menangis. Beliau sedih dan malu.
Aku tak mengerti apakah hal tersebut merupakan mujizat Tuhan atau memang hanya kebetulan. Aku tidak mengetahuinya, yang aku ketahui sekarang adalah… mamaku sudah kembali normal. Dan aku harap akan tetap seperti itu selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar