Kamis, 07 Oktober 2010

momentum 4

Akhirnya aku kembali lagi menjaga mama di rumah sakit. Keadaanya tak lebih baik dari kemarin, bahkan lebih buruk. Mama kehilangan wajah cerianya. Aku sering bercerita hal-hal lucu yang kualami kepada mama dan biasanya mama menyambutnya dengan tawa yang semarak, namun kini mama hanya bisa menyunggingkan bibir sembari menatap hampa padaku.

Yeah, tak ada yang bisa kuperbuat selain duduk terdiam dan memandangnya penuh penyesalan serta amarah yang meluap terhadap Tuhan-nya itu yang tak pernah mengasihaninya. Sementara aku yang hanya manusia biasa sangat kasihan terhadap kondisi beliau sekarang.

Aku muak berada di tempat ini, ruangan yang penuh dengan bau obat-obatan yang menjijikkan.

Mama memanggilku dan menanyakan pendapatku tentang bagaimana rona wajahnya. Aku hanya berkata kalau mama baik-baik saja dan tak ada yang perlu dipikirkan lagi. Mama menarik nafas dalam, ada perasaan tak puas yang tergambar dari wajahnya setelah mendengar pendapatku mengenai rona wajahnya. Dan sejak saat itu mama kerap kali menanyakan pendapatku bagaimanaa rona wajahnya. Jawabanku masih selalu sama bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aku sering memijit kaki mamaku dan beliau sering bercerita tentang hidupnya. Ya, tentang hidupnya yang penuh dengan kerja keras. Tentang kisah asmaranya yang cukup menarik dan menggelitik pikiranku serta tentang impian-impiannya yang indah.

Mama masih sakit. Dan aku tak ingat lagi kapan mama pernah sehat. Mungkin aku tak pernah merasakan hidup bersama beliau dalam keadaan beliau yang benar-benar sehat.

Mama diperiksa kembali oleh mereka yang berbaju putih-putih itu yang aku pikir lebih mirip dengan baju laboratoriumku sewaktu SMA.

Dokter menyatakan bahwa mama kekurangan darah dan lalu menyarankan agar mama menjalani transfusi darah.

Dokter tersebut menanyakan apakah ada keluarga yang memiliki golongan darah yang sama dengan mamaku. Kemudian aku menawarkan diri agar dokter memeriksa golongan darahku, kalau ternyata cocok, aku bersedia mendonorkan darahku untuk mama. Tapi papa segera menolaknya sebab papa tahu golongan darahku tak sama dengan mama.

“apa kau tak takut kalau darahmu diambil?’ Tanya papa padaku.

“aku lebih takut lagi kalau aku harus kehilangan mama,” jawabku.

“golongan darahmu tak sama dengan mamamu.”

Aku cuma diam, tak mungkin aku mendonorkan darahku untuk mama sementara golongan darah kami berbeda. Yang ada, mama bukannya tambah sembuh melainkan…

Akhirnya mama mendapat donor darah juga sebanyak dua kantung. Mama menyuruh agar suster menutupi kantung darah itu dengan kertas Koran sebab mama takut melihat kantung-kantung darah itu.

Mama cerita padaku bahwa beliau telah dua kali melakukan transfusi darah. Namun aku tak tahu kapan kali pertama mama melakukan transfusi darah dan aku juga enggan membuat mama teringat kembali pada peristiwa menyeramkan itu.

Mama pulang ke rumah setelah hampir beberapa hari di rumah sakit dan setelah beberepa kali pindah ruangan.

Yeah, hari pertama mama masuk rumah sakit, seluruh ruangan penuh oleh pasien-pasien. Sehingga mama terpaksa ditempatkan pada ruangan yang didalamnya dimuat enam pasien. Pengap, sumpek, dan menyebalkan. Banyak orang dengan berbagai penyakit dan bau-bau yang aneh. Aku jijik dan mual di ruangan itu. Mungkin mama lebih merasa jijik dan mual dibanding aku yang memiliki tubuh sehat.

Ternyata rumah sakit itu lebih ramai dikunjungi ketimbang hotel berbintang lima sebab di rumah sakit tersebut tak pernah ada kamar yang kosong.

Mama kembali ke rumah bukan berarti bahwa semuanya telah berakhir layaknya sebuah film cinta picisan yang selalu berakhir bahagia. Mama masih sakit, masih lemah, masih taak berdaya, dan masih tal memiliki kebahagiaan. Namun beliau punya sejuta harapan. Harapan yang mungkin tak kan pernah hinggap dalam hidupnya.

Kami sampai malam hari di rumah dan lalu membiarkan mama bersandar sejenak di kursi tamu. Tatapannya masih kosong, dan aku lagi-lagi tak tahu apa yang sedang beliau pikirkan.

Papa kemudian menyuruhku untuk mengambil garam yang berikutnya akan ditaburkan di setiap sisi rumah. Kata papa, garam itu berguna untuk menangkal maksud orang yang tidak baik dan setan-setan yang mengganggu. Itu menurut kepercayaan papa.

Benarkah ada orang yang berniat jahat pada mamaku? Sejauh yang aku tahu, mama tak pernah memiliki musuh, beliau malah mencoba mempersatukan mereka yang sedang bersengketa.

Mama berusaha mempersatukan seorang bapak dengan menantu perempuannya yang telah ditinggal mati oleh suaminya.

Aku tahu, di sini perjuangan mama sangat berat. Sebab kedua pihak tidak ada yang mau mengalah. Mama berusaha terus mempersatukan mereka tanpa memihak pada salah satu dari mereka.

Begitupun dengan masalah lain, mama juga mencoba mempersatukan seorang anak dengan ibu dan adik-adiknya. Mereka bersengketa, namun aku tak perlu tahu urusan-urusan orang dewasa seperti itu. Yang perlu aku ketahui, mama selalu ingin kedamaian bahkan untuk keluarga orang lain. Itulah mama, beliau sungguh baik. Mama juga mengajarkan aku bagaimana menjaga suatu hubungan dengan baik. Itu semua telah terbukti, aku melihat sendiri dari jalinan rumah tangga mama yang sama sekali tanpa perselisihan yang bermakna.

Mama adalah cikal bakal keluarga kami. Beliau yang selalu menggerakkan kami untuk melakukan suatu hal. Bahkan di saat pesakitannya pun beliau tak pernah berubah, masih tampak cantik dan berwibawa.

Aku masih ingat, mama sering mangajak kami melakukan kebaktian setiap malam. Beliau selalu memilih ayat-ayat yang indah yang sangat tepat buat keadaan kami saat itu yang kemudian dijelaskannya maksud dan tujuan dari ayat tersebut. Belum lagi setiap malam kamis, beliau tak pernah lupa mengikuti kebaktian yang telah dijadwalkan oleh pihak gereja. Mama sering membawakan khotbah pada kebaktian tersebut walaupun beliau sering merintih kesakitan di bagian perut dan tenggorokannya. Namun semangat mama untuk kebaktian malam kamis tidak pernah surut. Mama tak mempedulikan sakitnya, padahal angin malam sangat berbahaya bagi kesehatannya.

Mama selalu bersendawa setiap hari bahkan setiap detiknya. Terkadang aku kesal dibuatnya, sebab beliau sering bersendawa saat tengah malam. Dan itu sungguh mengganggu tidurku. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa mama juga tersiksa karenanya dan bahwa mama juga tak pernah ingin semua hal itu terjadi pada dirinya. Aku memang egois, aku selalu mementingkan diri sendiri tanpa pernah memikirkan bagaimana perasaan mama.

Sampai kepada saat dimana emosiku memuncak dan aku tak tahu harus melampiaskannya kemana. Aku hanya menulis emosiku dalam sebuah agenda. Di agenda tersebut aku meluapkan segala amarahku pada Tuhan, aku mengutuki Tuhan dengan hinaan keji. Namun suatu ketidak beruntungan itu pun terjadi tepat ketika mama membaca agenda yang aku nodai dengan kata-kata maksiat tersebut.

Dan seperti yang telah aku bayangkan, mama menangis. Ya, beliau sungguh terpukul. Aku tak tahu mengapa dan bagaimana agenda tersebut dapat terbaca oleh mama.

Mama kemudian menasehatiku panjang lebar bahwa aku tak sepantansya berbuat hal yang sedemikian rupa. Sepatutnya aku menghitung satu per satu berkat Tuhan setiap harinya, hingga aku menyadari bahwa Tuhan sungguh baik buat hidupku.

Yeah, aku malu sama mama. Beliau yang lebih sengsara saja bisa setegar dan setabah itu. Lalu mengapa aku yang tak pernah merasakan sakit apa-apa mencoba menuntut sesuatu yang lebih baik pada Tuhan?

Namun sayang, aku tak sampai berpikir jauh ke sana. Aku masih saja kukuh pada persamaan ideologiku yang tak pernah punya jalan penyelesaian itu.

Bukannya menyesali segala sikap, aku malah semakin beringas melontarkan segala apa yang menjadi azas kebencianku terhadap Tuhan.

Hingga akhirnya aku berubah menjadi seseorang yang bukan aku yang perangainya jauh lebih buruk dari sebelumnya.

Aku tak pernah lagi mendengar apa pun perkataan mama, jarang berdoa dan bahkan tak pernah lagi ke gereja. Dan mama tak lagi menegur dan menasehatiku, beliau mungkin sudah mulai bosan atau malah tak mau peduli lagi dengan anak durhaka seperti aku. Yang jelas beliau capek melihat tingkahku yang menyebalkan.

Aku pernah tak saling bicara dengan mama, begitu pun beliau sendiri juga tak acuh dengan keberadaanku. Yeah, ini bukan kali pertama aku mengnalami kondisi-kondisi seperti ini. Kami sudah acap kali melakukan aksi mogok bicara.

Terkadang mama yang mengalah dengan cara mengajak aku ngobrol namun terkadang aku juga mengalah, bukan berarti aku punya maksud baik. Tapi aku punya maksud lain, aku butuh uang dan aku perlu membuat komunikasi yang baik dengan mama. Walaupun begitu, mama lebih banyak mengalah ketimbang aku.

Dari sini aku menyadari bahwa memang kasih ibu itu sepanjang zaman dan kasih anak hanya sepanjang jalan. Namun aku malu untuk mengakuinya.

Aku bukannya tak merasa bersalah namun aku hanya tak sanggup melawan rasa tinggi hatiku yang mendalam dimana tak ada sedikit pun kata-kata maaf yang terlontar dari bibirku untuk mama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar