Kamis, 07 Oktober 2010

momentum 8

Malam harinya mama mengajak kami sekeluarga untuk mengadakan kebaktian. Tak tahu entah apa yang ada dipikiranku saat itu, tiba-tiba saja aku berang. Aku tidak mau kebaktian. AKU SANGAT MEMBENCI KEBAKTIAN.

Mama masih memaksaku untuk ikut kebaktian, begitupun dengan papa.

“buat apa kebaktian? Toh, Tuhan juga gak pernah peduli dengan keluarga kita. Jadi ngapain juga kita memuji-muji Dia,” ucapku tegas.

Aku tak tahu apa yang merasuki pikiranku. Namun, emosiku bisa meledak ketika diingatkan tentang Tuhan, mujizat dan doa. Persetan dengan semuanya itu.

Di sini tidak ada Tuhan.

Di sini tidak ada mujizat.

Di sini tidak ada doa.

AKU SANGAT MEMBENCI SEMUANYA ITU!

Namun mama dan papa masih saja melakukan kebaktian hanya berdua saja. Sementara adikku juga tidak ikut kebaktian tersebut. Yeah, adikku sangat mengidolakanku. Dia selalu meniru apa-apa saja yang ada pada diriku. Tapi sayang, dia hanya meniru semua yang jahat dari aku. Atau memang tidak ada hal yang baik yang bisa ditiru dari aku? Entahlah…

Bodoh…bodoh…bodoh…

Kenapa mereka masih saja berbuat baik dan memohon pada Tuhan yang tak punya belas kasihan itu. Dia tak pernah peduli pada keluarga kita!!! Batinku.

Hufft…

Tapi masih saja ada doa yang terbesit dihatiku.

“Tuhan, jangan hiraukan aku. Sembuhkan saja penyakit mamaku, beliau selalu setia padaMu walaupun Kau tak pernah memberinya kebahagiaan. Sembuhkanlah Tuhan. Amin,” doaku dalam hati.

Jujur, ada tersirat rasa penyesalan ketika aku menolak untuk ikut kebaktian bersama mereka. Namun, aku malu untuk mengatakannya. Aku malu mengaku salah. Aku selalu menganggap diriku adalah benar, tak satu orang pun dapat mencekal itu. Aku akan berusaha mempertahankan pendapatku walaupun aku tahu sebenarnya hal itu salah. Demi sebuah harga diri, pikirku. Yeah, itulah salah satu sifat burukku.

Kontras sekali perbedaan antara malaikat dan iblis malam itu. Dimana dua malaikat melakukan kebaktian sementara dua iblis asyik nonton film horor tepat di samping dua malaikat. Benar-benar hidup rukun berdampingan antar umat beda prinsip.

Namun, aku masih bisa mendengar ketika mama berdoa. Beliau mendoakan aku dan anak-anaknya yang lain. Ya, beliau acap kali mendoakan kami. Bukan hanya pagi, siang dan malam melainkan setiap saat. Mama selalu berdoa setiap saat. Dan aku yakin, setiap saat bahkan setiap milidetik, beliau selalu teringat akan Tuhan-nya. Bukan karena beliau sedang sakit. Ketika sehat pun beliau selalu tidak pernah melupakan Tuhan-nya.

Tapi aku tidak habis pikir bagaimana cara Tuhan bekerja. Mungkin Tuhan tak punya hati atau mungkin Tuhan tidak punya telinga untuk mendengar doa-doa mamaku yang telah disampaikannya setiap saat. Atau mungkin suara mama sangat pelan sehingga Tuhan tak mendengar. Atau mungkin angin terlalu kencang sehingga doa mama tidak tepat sampai ke sorga. Atau mungkin doa itu tidak ada gunanya, hanya sebatas formalitas atau kebiasaan-kebiasaan yang harus dilakukan. Atau doa itu hanya sebuah mantera, tapi tidak mungkin. Mantera lebih ampuh dari doa, buktinya banyak orang yang meninggal gara-gara santet. Setahu aku, santet itu menggunakan mantera seperti penyihir-penyihir dalam novel Harry Potter. Ah.. terserahlah, yang jelas, tidak ada perubahan yang benar-benar signifikan yang menuju kearah yang lebih baik sebagai akibat dari doa tersebut.

Hari minggu yang gerimis. Udara saat itu benar-benar dingin. Bukannya reda, bahkan semakin deras tetesan air yang ditumpahkan ke bumi.

Pagi itu, seperti biasa, kami menikmati hidangan sarapan bersama-sama. Seperti biasa juga, papa berbicara tentang banyak hal. Tentang rencana-rencananya, tentang keinginan-keinginannya, dan tentang harapan-harapannya pada kami yang aku pikir semua itu sangatlah lucu. Aku kenal papaku, aku menganggap beliau tak lebih dari seorang pembual besar. Beliau selalu bercerita banyak tentang rencana-rencananya, tapi tak satu pun terealisasi. Tak apa, aku hargai impiannya itu.

Kami menghabiskan waktu yang lama untuk sarapan. Bukan sekadar sarapan, kami juga asyik bersendagurau. Papa sengaja menceritakan hal yang lucu-lucu agar mama bisa tertawa. Tapi mama sedikit pun tak merespon apa-apa. Mama memang berada diantara kami, namun pikiran beliau tak di tempat itu.

Papa kemudian menanyakan apakah mama baik-baik saja. Mama kemudian mengeluhkan sakit perutnya. Kata mama, beliau sudah dua hari tidak bisa buang air besar. Selalu saja begini, selalu saja ada hal-hal yang merusak saat-saat kami ingin berbahagia.

Pagi itu, aku bad mood gara-gara mama sakit lagi. Selalu, selalu dan selalu….

Papa kemudian membawa mama masuk kamar dan aku masih saja mendengar mama mengeluh. Pagi itu, semuanya berubah. Hanya kebahagiaan sesaat. Kami menyantap sarapan pagi, dan mama kembali lagi menderita dalam kesakitannya. Hujan juga tiba-tiba turun dengan derasnya. Benar-benar pagi yang lengkap.

Aku sengaja melewati kamar mama yang kebetulan pintunya terbuka lebar. Aku melihat mama berbaring lemah, dan papa sedang memijat telapak kaki mama sembari berdoa. Berdoa, ya, hanya itu yang dapat dilakukan oleh mama dan papa. Mereka menganggap bahwa doa adalah obat yang paling manjur dan solusi yang paling tepat. Mereka selalu melakukan hal itu, baik dalam keadaan sesulit apapun, sesakit apapun sampai dalam keadaan yang sangat membahagiakan. Khususnya mama, beliau sama sekali tak pernah melupakan Tuhan-nya. Kadang aku merasa bangga kepada mama, kadang aku juga merasa malu dan terkadang aku juga merasa jengkel dengan keimanan mama. Biar bagaimanapun, mama adalah mamaku.

Beberapa saat kemudian, papa keluar kamar dengan tergesa-gesa. Beliau menuju ke arah dapur, lalu dengan repotnya ia menuangkan air panas ke dalam botol minuman kaca dan lalu menutupnya rapat-rapat. Beliau masuk lagi ke dalam kamar, kemudian meletakkan botol tersebut di atas perut mama dengan tujuan agar mama bisa mengeluarkan gas H2S yang dua hari belakangan ini sulit sekali dikeluarkan.

Namun sia-sia, tidak ada efek yang ditimbulkan oleh air panas dalam botol tersebut. Dan mama masih saja mengeluhkan soal perutnya.

Aku benar-benar benci dengan situasi seperti ini.sangat membenci.

Hari minggu itu, kami sekeluarga, tak seorang pun yang pergi ke gereja. Mama masih dengan sakitnya dan papa sibuk mengurusi mama. Sementara aku, benar-benar buruk membenci Tuhan. Dan adikku, dia tak lebih dari seorang yang pemalas.

Mama kemudian memanggilku, beliau memintaku untuk membantunya meletakkan botol air panas tersebut di atas perutnya. Aku dengan wajah cemberut pun membantu mama dengan tak ikhlas tanpa kata-kata.

Mama tahu, kalau aku sedang tidak senang saat itu. Dan mama merasa bahwa aku selalu membenci dibuatnya.

“ya sudahlah, sana. Kalau kau tak bisa membantu mama,” ucap mama sembari mengambil kembali botol air panas yang telah ada digenggamanku.

Aku pun pergi tanpa kata dan tanpa bahasa. Tak sedikitpun aku menolah wajah mamaku.

Malam harinya, mama masih mengeluhkan sakit perutnya. Terkadang beliau berteriak saking tidak tahannya.

Kenapa ma? Kenapa kau selalu saja mengeluh? Kenapa kau tak pernah mencoba untuk melawannya sendiri? Mengapa kau sangat lemah hanya karena sakit perut? Padahal sebelumnya, kau sanggup melawan yang lebih parah dari itu. Mengapa sedikit saja tak ada keinginanmu untuk melawan ma??? Batinku.

Hari itu, I’m bad mood totally.

Sekitar jam setengah delapan malam, temanku datang berkunjung ke rumah. Dia memintaku menemaninya meminta tas ransel kepunyaannya yang telah dipinjam oleh teman kami yang lain. Aku meminta izin pada mama untuk menemani temanku tersebut. Mama hanya diam, beliau sama sekali tak menggubris. Mungkin karena kebisuan sejak pagi tadi, lalu mama melakukan hal yang sama padaku. Mungkin beliau ingin aku tahu bahwa tidak enak jika kita tidak dihiraukan oleh orang lain. Namun sayangnya, aku tak peduli dengan hal itu.

Aku kemudian meminta izin pada papaku. Dan papa menyuruh aku untuk meminta izin pada mama. Dengan sedikit kesal, aku pun meminta izin pada mama. Mama hanya diam, beliau sama sekali tak merespon apa yang aku katakan. Namun beliau amat kesal, kelihatan dari raut wajahnya. Yeah, ternyata mama masih dendam dengan sikapku sepanjang hari ini. Tapi aku tidak peduli, aku memaksa mama untuk mengizinkan aku keluar rumah barang sebentar saja.

Akhirnya, mama pun mengizinkan aku untuk pergi.

“ya sudah, pergilah kau,”ucap mama tanpa sedikit pun menoleh ke arahku yang pada saat itu tepat duduk disampingnya.

Lalu aku pun pergi menemani temanku tersebut. Namun, sebaik kami sampai ke tempat seseorang yang bakal kami tuju. Orang yang kami cari tersebut ternyata sedang tidak ada di rumah. Alhasil, kami memutuskan untuk pergi ke warnet.

Yeah, kami pergi ke warnet dan menghabiskan waktu berjam-jam. Aku sama sekali melupakan janji yang telah kukatakan pada mamaku. Seharusnya aku hanya menemani temanku untuk menemui seseorang. Namun, kami pergi ke tempat lain.

Jam sepuluh malam tepat aku pulang ke rumah. Keadaan rumah sangat berbeda dari ketika aku meninggalkannya dua jam yang lalu. Aku hanya melihat papa di dalam rumah tersebut. Dan itu pun beliau sedang bersiap-siap akan beranjak pergi dari tempat itu.

“mama dan adik kemana, pa?” tanyaku pada papa.

“adikmu menemani mamamu berobat,”jawab papa dan lalu pergi begitu saja.

Aku tak tahu apa yang terjadi saat itu. Namun sepertinya sakit mama memang sudah tak tertahan lagi. Dan aku masih menganggap semua itu hanyalah persoalan sakit perut yang menurutku adalah hal sepele. Aku pun tidak terlalu memikirkan apa-apa yang buruk tentang mamaku.

Sembari menunggu mereka pulang, aku pergi ke dapur dan melihat apa-apa saja makanan yang bisa disantap yang ada di situ. Mengingat bahwa sejak tadi aku sama sekali belum mengisi perutku dengan makanan.

Akhirnya mama, papa dan adikku pulang juga. Aku langsung membukakan pintu buat mereka. Aku melihat mama, wajah beliau tampak lebih pucat. Namun ia masih tetap bisa tersenyum dalam sakitnya itu. Seperti member sebuah pertanda padaku bahwa ia baik-baik saja.

Mama pun kemudian berbaring di ruang tamu yang sebelumnya telah di bentangkan sebuah karpet merah. Mama masih mengeluh masalah sakit perutnya. Dan kali ini sakit yang beliau rasakan bukan main-main.

Esok harinya, tepat tanggal 17 Agustus 2009 di mana setiap warga Negara Indonesia merayakan hari kemerdekaan tanah air ini. Mama masih menahan sakitnya.

Aku tak tahu apa yang dirasakan mama. Namun aku melihat bahwa beliau lebih sehat dari kemaren. Hanya saja ada satu yang aneh, wajah mama tak menunjukkan kesehatan itu. Aku melihat ada sesuatu yang ditahan mama saat beliau hendak bergerak. Mungkin saja mama menahan sakitnya, sebab setiap kali ia melakukan pergerakan, ia selalu memegang perutnya.

“mana tulangmu?” Tanya mama ketika aku menonton acara perayaan hari kemerdekaan yang dilangsungkan di istana merdeka yang saat itu aku tonton di televisi.

“aku tak melihatnya,”jawabku.

Kebetulan tulang yang adalah adik laki-laki mama diundang untuk mengikuti upacara tujuhbelas Agustus di istana merdeka. Mama masih semangat menonton acara tersebut, berharapa ia dapat melihat adiknya itu.

Aku pikir, mama telah baik-baik saja. Namun setelah itu, ia berbaring sembari memegangi perutnya. Beliau merintih. Dan aku masih tak percaya bahwa ia benar-benar sakit. Tak mungkin secepat itu, sebelumnya mama bersemangat mengikuti acara di televisi. Mengapa sekarang beliau tiba-tiba kesakitan? Pikirku.

Uh, mama pasti sedang berpura-pura.

Aku langsung teringat ketika aku menanyakan mengapa mama seringkali mengeluh.

“mama kok seringkali mengeluh, mama pikir itu bagus? Itu bisa mengurangi umur mama loh,” ucapku saat itu.

“mama tidak selalu mengeluh. Terkadang mama hanya berpura-pura, mama hanya ingin tahu seberapa besar perhatian kalian pada mama,”kata mama.

Aku tak tahu apakah pernyataan mama tersebut benar atau tidak. Yang jelas saat itu, aku tiba-tiba mengingat kalimat mama tersebut. Dan kali ini aku berpikir bahwa mama sedang menguji seberapa besar perhatianku padanya.

Aku tak perlu diuji! Batinku teriak.

Aku pun pergi meninggalkan mama. Aku pergi ke dapur dan menyelesaikan tugasku disana sambil bernyanyi kencang. Aku tak peduli bagaimana keadaan mamaku saat itu.

Pasti beliau sedang mengujiku. Batinku.

“aduh nang!! Sakit kali yang mama rasakan, nang. Seandainya kau tahu bagaimana rasanya, sakit sekali nang,”rintih mamaku yang terdengar olehku dari dapur.

Aku tahu, mama mengadu padaku. Sebab mama selalu memanggilku dengan sebutan inang. Kali ini aku menjumpai mama untuk memastikan bahwa beliau baik-baik saja. Mama masih berbaring dan sama sekali ia tak bisa menggerakkan tubuhnya sebab beliau tak sanggup menahan sakit. Aku melihat perut mama semakin bengkak, seperti wanita hamil saja.

Aku kemudian memijat telapak kaki mama sembari memainkan handphoneku.

Lalu mama berkata,”kalau kau tak ikhlas memijat kaki mama, sebaiknya kau tak usah memijatnya. Itu hanya semakin menambah sakit,”ucap mama.

Aku tak peduli dengan ucapan mama, aku masih saja memijat telapak kakinya. Dan kali ini, aku meletakkan handphoneku. Aku tak bahwa mama tak senang dengan aku yang lebih mengutamakan perhatianku pada handphone. Jadi, kuletakkan saja benda kecil itu disampingku. Namun, apa boleh buat. Daya magnet handphoneku ternyata jauh lebih kuat, sehingga aku tak berdaya dan meraih dia kembali demi mendapatkan daya. Lagi-lagi hal tersebut diketahui oleh mama.

“sudahlah! Tak usah lagi kau memijat telapak kakiku. Mainkan saja Hp-mu itu,”ucap mama sedikit membentak.

Kali ini aku menurut kata mama. Aku pergi ke dapur lagi dan membereskan pekerjaanku.

Dan mama masih saja merintih kesakitan.

Malam harinya, hari-hari yang sangat menegangkan tentunya. Dan mama masih kesakitan. Papa kemudian menelepon dokter yang biasa mengobati mama. Lalu dokter tersebut pun menyuruh papa untuk meminumkan sesuatu obat pada mama. Hasilnya, sama sekali tidak ada. Bahkan perut mama terasa lebih sakit. Papa kemudian menelepon dokter itu lagi, namun sang dokter teladan sama sekali tak merespon sedikit pun.

Ya sudah, dokter tersebut sama sekali tak dapat diharapkan.

Akhirnya mama berjuang sendirian. Mama terus berdoa menyebut nama Tuhan, begitu pun dengan papa. Aku dan adikku pun turut memijat telapak kaki mama.

Kemudian papa mengajak aku dan adikku untuk berdoa buat kesembuhan mama. Kamu pun mulai berdoa.

Namun tiba-tiba saja mama berkata.

“jangan mengelilingiku, aku bukan mau mati.”

Aku tidak tersadar bahwa saat itu kami sedang mengelilingi mama. Lalu kami pun menuruti kehendak mama dan mengubah posisi. Papa pun mulai memimpin doa.

Selesai berdoa, tak ada perubahan apa-apa. Mama masih sakit. Kami masih memijat mama.

Papa memijat kening mama, adikku memijat tangan mama dan aku memijat telapak kaki mama.

“kapan kau kuliah, nang?” Tanya papa padaku.

“besok udah mulai kuliah,”jawabku dengan tak bersemangat.

“tapi si Duma masih libur,”ucap papa.

Aku hanya diam saja. Aku benci pernyataan papa yang sok tahu seperti itu. Ia pikir bahwa kulaih itu sama seperti sekolah yang liburnya selalu serentak dengan sekolah lain. Jika aku berkata demikian pasti beliau mengatakan bahwa ia juga dulu kuliah sama seperti aku. Tapi mengapa ia tidak tahu? Jelas-jelas aku beda kampus dengan si Duma.

Besoknya, papa dan mama akan pergi ke rumah sakit. Pagi-pagi sekali mereka pergi. Namun sebelum pergi, papa ngobrol sebentar dengan tulang Daulat, adik laki-laki mama yang lain. Aku tak tahu mereka berbicara masalah apa. Tapi sepertinya papa meminjam uang pada tulang Daulat untuk biaya mama ke rumah sakit.

“iya Ruth, kau kuliah hari ini?” Tanya tulang Daulat padaku.

“tapi kawannya, si Duma masih libur,” potong papa.

Aku benci sekali pada papa saat itu. Memangnya kenapa kalau si Duma sedang libur? Kampusnya memang sedang libur, kampus aku ‘kan tidak.

“iya Ruth, kawanmu masih liburnya,” tulang Daulat memastikan. Beliau seperti curiga padaku.

“nggak tau, tulang. Tanya papa aja, dia ‘kan rektornya,” ucapku sewot.

Mama dan papa pun pergi ke rumah sakit. Dan tulang menitipkan uang yang papa pinjam tadi untuk kubawa ke rumah sakit.

Aku pun berangkat ke rumah sakit sekitar pukul Sembilan pagi. Aku hanya mengenakan kaos oblong dan celana panjang hitam. Papa pun melihat kehadiranku.

“loh, nggak kuliah kau?” Tanya papa heran.

“nggak, aku nggak mau kuliah. Capek aku kuliah,”jawabku sewot.

“ya sudah, sana kau pergi kuliah. Kok gitu kau ngomongnya, nang?”

“ngapain aku kuliah. Toh, sebentar lagi aku pun dipanggil buat jaga mama. Gitu-gitu aja kerjaku dari dulu.”

Papa pun tak berkata apa-apa, begitu pun dengan mama. Mama hanya memandangiku dengan kecewa.

“Kau jaga dulu mamamu, papa mau cari ruangan buat mama.”

Papa pun pergi.

Yeah, papa akan mencari ruangan buat mama karena saat itu mama berada di dalam kamar yang jumlah pasiennya enam orang. Benar-benar bikin suntuk kamar tersebut.

“kenapa kau tak kuliah?” Tanya mama padaku.

“aku nggak ‘kan kuliah sampai mama benar-benar sembuh. Aku benci keadaan kayak gini, ma,” ucapku emosi.

Mama hanya diam saja. Beliau pasti berpikir bahwa keadaan seperti ini terjadi karena dia.

Aku pun menemani mama di ruangan tersebut sembari memainkan handphoneku. Mama terus memandangi wajahku dengan seksama tanpa kata dan juga tanpa ekspresi. Aku yang dasarnya memang tak suka dipandangi lama-lama oleh siapapun kemudian membalas pandangan mama dengan wajah sewot.

Tak lama papa pun hadir kembali. Sepertinya beliau belum mendapatkan kamar buat mama. Sebab saat itu banyak kamar yang penuh.

Aku pun keluar dari kamar tersebut. Aku tidak tahan mencium berbagai macam bau obat yang ada di ruangan tersebut. Rasanya aku akan muntah jika berlama-lama berada di situ.

Aku duduk di koridor rumah sakit terssebut yang berada tak jauh dari ruang pasien. Setidaknya, aku tidak mencium bau-bau obat yang menyengat dari koridor tersebut.

Aku kemudian menelepon temanku dan memberitahukan segala keluh kesahku. Aku mengadu bahwa aku benci kehidupan yang seperti ini, aku benci kepada Tuhan karena Dia memilih mamaku untuk merasakan hal tersebut, aku iri kepada teman-temanku yang tak perlu mengkhawatirkan tentang kesehatan mamanya.

“aku iri padamu, Duma!” sahutku pada Duma lewat handphone.

Aku merasa hidup keluarga kami benar-benar tidak normal. Selalu penderitaan, penderitaan dan penderitaan yang mengisi hari-hari mamaku. Dan hal tersebut berdampak bagi psikologis anggota keluarga lain.

Saat itu, aku benar-benar membenci apa pun.

Aku kembali ke ruangan mamaku. Aku melihat beliau yang masih saja memandangku tanpa ekspresi.

“kenapa kau masih di sini? Pergi kau kuliah! Udah mahal-mahal dibayar uang kuliahmu. Jangan kutengok kau di sini,”ucap mamaku.

Aku diam saja. Aku tidak peduli!

Sembuh dulu kau, baru aku mau kuliah. Batinku.

Akhirnya, saat itu, hubungan aku dengan mama sama sekali tak baik. Kami seperti sepasang insan yang berpacaran yang saat itu sedang bertengkar. Aku dan mama hanya diam-diaman ketika bertemu.

Siangnya aku pulang ke rumah sebab khawatir adikku pulang sekolah dan mendapati pintu rumah terkunci sehingga dia harus menunggu di teras rumah.

Sepulang sekolah, adikku menunjukkan satu paket kiriman yang dikirim oleh abangku dalam box. Aku melihat isinya ada dua botol minuman yang berisi air. Aku tak tahu apa gunanya. Namun saat itu abangku meneleponku dan berkata bahwa itu adalah obat mama. Yang satu untuk diminum dan yang satu lagi untuk dimandikan.

Aku berpikir akan memberikan obat tersebut pada mama esok hari.

Malam harinya, aku mengirimkan pesan kepada abangku dalam bahasa inggris. Aku tak ingat pasti apa kata-kata yang aku kirimkan pada abangku. Yang aku tahu, intinya, aku capek dengan kondisi seperti, dan aku bertanya pada abangku kapan ini semua bakal berakhir.

Abangku lalu membalas pesanku dengan polosnya.

Apa artinya, dek?

Begitu isi pesan abangku. Dan aku tak membalasnya.

Esok harinya, sebelum pergi ke rumah sakit, aku membereskan dahulu pekerjaan rumahku walaupun kelihatannya tak ada yang beres. Dan lalu, aku menyempatkan diri untuk menonton televisi sebentar. Hingga akhirnya tanteku meneleponku dan menyuruh aku untuk segera ke rumah sakit.

Aku pun pergi dan tak lupa membawa obat yang telah dipaketkan oleh abangku. Hari itu, aku sama sekali telah merencanakan baju yang aku pakai. Aku tak memakai baju hitam seperti biasanya. Sebab mama selalu menegurku ketika aku memakai baju dan celana warna hitam.

“kau ingin mama mati ya? Makanya kau memakai pakaian hitam seperti,” ucap mama.

Yeah, tak ada kematian sama sekali disini. Dan aku tak ingin mama menyimpulkan hal yang bukan-bukan karena style kesukaanku itu. Aku pun mengenakan kemeja warna putih-ungu kepunyaan adikku.

Aku pun berangkat ke rumah sakit. Ternyata di rumah sakit telah ramai oleh kakak dan adik-adik mama. Aku semakin curiga, mengapa mereka tiba-tiba saja berkumpul secara serentak seperti itu. Tidak seperti biasanya.

Aku masuk ke dalam ruangan mamaku. Aku berdiri di samping mama dan memandangi mama tanpa kata. Mama pun memandangku sebentar dan kemudian memalingkan wajahnya. Sepertinya, mama masih marah padaku. Iya, beliau sangat marah. Aku tahu, aku memang pantas untuk dimarahi. Aku sudah terlalu banyak menyakiti hatinya.

“ma, aku nggak akan kuliah kalau mama nggak sembuh. Aku mau mama sembuh,”ucapku pada mama.

Mama pun kemudian berkata. Dan bahasanya sangat aneh, tak ada yang kumengerti dari apa yang dikatakannya. Seperti orang sumbing yang sedang berbicara dan bahkan melebihi orang sumbing parahnya.

Mama pun semakin banyak berkata dan semakin tak berhenti. Aku semakin aneh mendengarnya. Aku yakin ada yang tak beres dengan mama. Aku hanya mengiyakan semua apa yang dikatakan mama padaku.

Sampai akhirnya, suster datang dan memarahiku.

“sudah saya bilang jangan diganggu. Tadi ibu ini sudah tenang, sekarang kumat lagi ‘kan,”ucap suster tersebut dengan galak.

Lalu mak tuaku mengajak aku untuk keluar dari ruangan itu.

“tadi mamamu ngomong terus, biar dia istirahat sebentar,” ucap mak tuaku sembari membawa aku keluar dari ruangan itu.

Kemudian para suster itu pun masuk dan menyuntikkan sesuatu ke tubuh mamaku, kata mereka, itu adalah obat penenang buat mama. Sementara papaku pergi mencari dokter.

Aneh, mamaku telah semalaman berada di rumah sakit ini. Namun tak seorang dokter ahli pun memeriksanya.

Aku tak paham betul bagaimana kinerja rumah sakit tersebut. Apakah seperti di film-film india yang ambulance-nya baru datang tepat ketika korban menghembuskan nafas terakhir. Itu menurut dugaanku, dan aku harap dugaan aku salah.

Aku pun keluar dari ruangan tersebut. Mencari kursi dan menepi di sudut koridor.

Menangis. Ya, hanya itu yang dapat aku lakukan. Aku tak tahu lagi apa yang dapat aku lakukan selain menangis.

Aku memperhatikan papa, beliau sibuk kesana-kemari untuk mencari dokter. Aku bingung, di rumah sakit yang sebesar itu tidak seorang dokter pun dapat dijumpai. Aneh.

Lalu papa kembali lagi ke ruangan tempat dimana mama dirawat. Papa membawa seorang dokter muda. Aku pun kemudian turut masuk ke ruangan tersebut. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada mama.

Dokter muda tersebut pun memeriksa mama. Entah apa yang diperiksai beliau. Yang jelas, beliau tak mengatakan apa-apa. Dokter muda tersebut pun keluar dari ruangan mama dan meninggalkan tanya yang besar pada kami semua.

Mama masih tergolek lemah, mulutnya menganga namun bengkok. Tapi aku yakin, mama masih bernafas.

Tiba-tiba papa mengajak kami yang ada di ruangan itu untuk berdoa. Papa, aku, tante dan mak tua. Kami berempat melakukan doa bersama, kami mengelilingi mama yang pada saat itu kondisinya sangat mengenaskan.

Papa mulai berdoa. Dengan isak tangis tentunya. Tapi aku masih yakin, takkan terjadi hal yang menakutkan pada mama. Aku yakin hal itu. Aku yakin bahwa mama memiliki umur yang panjang.

Papa kemudian menyuruhku untuk berdoa. Aku yang pada saat itu masih membenci yang namanya doa, aku langsung menolak tawaran papa.

“aku nggak mau berdoa. Untuk apa? Toh, Tuhan nggak pernah dengar doaku. Percuma, “ sahutku.

Papa masih memaksaku, namun aku msih tetap pada pendirianku. Aku tak mau berdoa.

Mama melihatku, aku tak tahu apakah mama mendengarnya. Tapi yang jelas, saat itu beliau menoleh ke arahku. Aku tahu, beliau ingin mengatakan sesuatu. Tapi ketidakberdayaannya yang membuatnya tak dapat melakukan hal itu. Mama mencoba mengatakan hal itu melalui mata beliau. Namun sayangnya, aku tak dapat memahani bahasa mata tersebut.

Selesai kami berdoa. Ternyata dokter spesialis beserta rombongan koas sudah berada di ruangan mama.

“Dok, bagaimana keadaan istri saya, dok? Tolong dia, dok,” ucap papa memohon pada dokter tersebut.

“ya sudahlah pak. Bapak ‘kan sudah berdoa, Tuhanlah yang menolong ibu itu,” ucap dokter tersebut sembari memeriksa keadaan mama kemudian berlalu begitu saja. Dan papa pun mengejar dokter tersebut sembari mengatakan sesuatu.

Dokter, aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu. Seharusnya, kau tidak pantas berkata seperti itu dalam kondisi yang sangat menyedihkan seperti saat-saat itu.

Aku yang sedari tadi berada di samping tempat tidur mama yang kemudian beranjak dan berdiri tepat di ujung dari tempat tidur mama. Dan mama masih memperhatikan setiap gerakku. Ada yang ingin dikatakan beliau, aku dapat merasakannya.

Tiba-tiba saja ada seorang ibu datang menjenguk mama. Dan langsung berkata :

“inang, ingat Tuhan, inang. Sebut nama Yesus tiga kali, inang. Yesus, Yesus, Yesus, “ sahut ibu tersebut.

Aku kemudian melihat mama. Beliau berusaha menggerakkan lidahnya dengan susah payah. Mama ingin megucapkan nama Yesus. Dan beliau berhasil mengucapkannya walaupun tidak terdengar, namun bentuk mulutnya serta gerakan lidahnya telah mewakili semua itu.

Aku masih berada di ujung tempat tidor mama. Aku memerhatikannya, beliau pun masih melihat ke arahku.

Ada yang ingin kau katakana, ma? Ayo ma, katakan padaku. Batinku mencoba bertelepati dengan mama namun kelihatannya tidak bisa. Tapi mata kami saling beradu cukup lama. Mungkin mama juga ingin melakukan hal yang sama denganku.

Tak lama kemudian, mama menarik nafasnya. Seperti yang biasa beliau lakukan ketika akan terbatuk. Dan aku tak mencurigai hal itu.

Lalu dokter yang biasa menangani mama pun datang bersamaan dengan kehadiran papa yang baru kembali dari membeli obat di apotik.

Akupun duduk di sudut ruangan. Membiarkan sang dokter memeriksa keadaan mama. Papa yang tidak sabaran pun memaksa dokter tersebut untuk mengatakan sesuatu pada papa tentang kondisi mama.

“bapak tenang dulu,” ucap sang dokter pada papa ketika dokter tersebut selesai memeriksa keadaaan mama.

“bagaimana bisa tenang, dok. Lihat keadaan istri saya,” ucap papa sewot.

“iya, bapak tenang dulu. Bapak mau tau ‘kan bagaimana keadaan ibu yang sebenarnya?”

Kemudian papa pun tenang dan member waktu pada dokter tersebut untuk member keterangan bagaimana kondisi mama yang sebenarnya.

“pak, saat ini, kondisi ibu….”

“kenapa,dok?” jerit papa.

“ibu sudah dipanggil Tuhan, pak. Ibu sudah meninggal.”

Dan tangis pun pecah saat itu juga. Aku yang pada saat itu juga turut langsung mendengar ucapan sang dokter tak mampu berbuat apa-apa. Hanya tangis. Iya, hanya tangis yang lebih banyak berbicara di tempat itu. Jerit tangis.

Aku tak tahu siapa yang harus dipersalahkan saat itu. AKU TAK TAHU.

“MA!!!!!!!!!!!!!! KENAPA CEPAT KALI MA??????????? BANGUN MA, BANGUN…. “ jeritku tak rela.

Banyak yang menyaksikan. Dan mereka hanya menonton. Mereka tak tahu rasanya.

Aku memeluk tubuh kaku mamaku erat-erat. Seakan tidak rela Tuhan mengambil apa yang seharusnya masih menjadi kepunyaanku. Ya, aku kehilangan. Kehilangan apa yang seharusnya masih menjadi milikku.

Semuanya sudah berakhir. Iya, berakhir. Dan mamaku telah menutup semua lembaran cerita itu. Banyak hal yang masih tertinggal, namun semua hanya akan menjadi kenangan.

Lagi-lagi aku harus kehilangan. Aku kehilangan waktu itu, waktu yang merebut apa yang seharusnya menjadi kepunyaanku.

Dia tak pernah kembali. Dan takkan terlihat lagi dalam waktu yang tak dapat ditentukan saat ini.

Ini bukan sekadar kehilangan, namun ada yang lebih dari itu. Anak seperti aku, anak yang tak membawa berkat buat orangtua. Aku tak mampu menepati apa yang seharusnya aku tepati. Dan kalimat-kalimat aneh itu pun kembali muncul di telingaku. Rasanya sangat mencekik leherku hingga aku benar-benar merasa sudah tak bernafas lagi.

***

Momentum.

Kutegaskan padamu, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu sains yang telah kamu pelajari baik di sekolah maupun diperkuliahan.

Aku hanya mengambil kata ini dari sekian banyak kata yang tak memiliki arti yang tercipta begitu saja. Sebab saat ini, tak ada kata-kata yang mampu mengartikan bagaimana perasaan yang tengah aku alami saat ini.

Momentum berasal dari dua kata, moment dan dentum. Dimana moment adalah waktu atau saat. Sedangkan dentum adalah tumbukan kuat yang menghasilkan suatu gema (dentuman).

Jadi, momentum di sini adalah waktu yang menimbulkan dentuman. Yeah, dentuman yang dahsyat. Dentuman yang meremukkan seluruh rongga-rongga tubuhku. Dentuman itu bekerja sangat cepat dan meruntuhkan kekuatan yang telah kubangun sejak bertahun-tahun lalu.

Yeah, kutegaskan sekali lagi, momentum yang kumaksud sama sekali tak ada hubungannya dengan ilmu sains. Sebab momentum di sini bukanlah sebuah vector. Aku bahkan tak mengetahui arah mana yang ia tuju. Mungkin tak memiliki arah atau mungkin terlalu banyak arah sehingga aku tak dapat melihat dengan jelas dimana ia bakal berhenti.

Aku tak tahu bagaimana kehidupanku kelak bakal terjalani tanpa mama di sampingku. Aku tahu, semuanya telah berubah seketika. Seketika yang cepat namun dengan proses yang lama.

Aku ingin hal ini sebagai pelajaran buat kita semua. Jangan pernah terlambat seperti aku. Jujur, aku menyesali segalanya. Aku tak sempat meminta maaf dan aku juga tak sempat memperbaiki semuanya. Aku telah menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan padaku. Tidak ada lagi kesempatan itu. Dan aku tak dapat menebus kesalahanku.

Buat mama. Aku tahu, hanya kita berdua yang tahu. Yeah, kau mencintaiku, sangat mencintaiku. Namun tidak sebaliknya denganku.

Mama, tidak ada kejujuran antara kita. Iya, aku menyadari hal itu. Aku selalu membohongimu dan kau tak tahu hal itu. Sampai akhirnya kau menyadarinya sendiri. Tapi terlambat bagiku untuk memperbaiki segala yang telah hancur karena ulahku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar