Kamis, 07 Oktober 2010

momentum 7

Akhirnya kami sekeluarga jadi juga pindah rumah. Aku masih ingat, saat itu adalah bulan ke tujuh, dimana aku sedang libur semester. Mama mengambil kesempatan libur itu untuk pindah rumah agar aku tak memiliki alasan untuk tidak ikut membantu proses pindahan. Ini memang sangat mengherankan buat para tetangga kami, sebab ke pindahan kami tersebut tak sesungguhnya membeli rumah baru, melainkan kami hanya mengontrak rumah yang tak jauh dari rumah kami.

Tapi, untungnya aku memiliki mama yang berbakat menjadi artis. Beliau pandai sekali member alasan-alasan yang tepat layaknya seorang artis yang pintar berkelit sewaktu wartawan menanyakan masalah perselingkuhannya dengan seorang pengusaha kaya.

Yeah, mama mengatakan bahwa rumah kami tersebut akan direnovasi serta dibangun dengan dua lantai. Dan para tetangga tak memiliki rasa penasaran lagi atas kepindahan kami yang dadakan tersebut.

Papa, sebenarnya beliau tak menginginkan perpindahan tersebut. Tapi, apa mau dikata, beliau harus menuruti kemauan mamaku termasuk juga kemauanku.

Berbeda dengan mama yang sangat menginginkan pindah rumah. Aku sebenarnya sangat mendukung rencana mama tersebut. Tapi setelah melihat letak rumah baru kami yang tak strategis tersebut, aku tak punya gairah lagi.

Menjengkelkan… sangat menjengkelkan. Rumah tersebut begitu kecil dan jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Belum lagi kami tak memiliki tetangga yang cukup. Di depan rumah tersebut terhampar kebun singkong yang cukup luas yang tiap malam selalu ramai dengan suara kodok yang bersahut-sahutan.

Sungguh, aku tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana dengan perasaan mama setelah menempati rumah tersebut. Tapi, seperti yang kulihat, mama kelihatannya senang dengan kepindahan kami ke rumah kontrakan tersebut.

Mama senang, beliau mengatakan bahwa udara disekitar rumah tersebut sangat bagus buatnya. Mama merasa bagai tinggal di tengah sebuah ladang. Ya, ladang yang menyeramkan dan tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali di tempat itu.

Kami kemudian membuat suatu syukuran kecil-kecilan, semacam pesta memasuki rumah baru. Namun bedanya, ini bukan pesta melainkan acara makan-makan biasa yang dihadiri oleh keluarga besar dari pihak papa dan dari pihak mama. Mama senang ada perkumpulan seperti itu. Beliau sangat senang dengan keramaian.

Yeah,keramaian yang membuat rumah kami berantakan dan akhirnya giliran aku yang harus kerja rodi membersihkan segala yang berserakan tersebut sehabis pesta kecil-kecilan itu.

Besoknya, adik laki-laki papaku datang beserta istri dan kedua anaknya. Sebenarnya mereka memiliki tiga orang anak namun anak laki mereka yang paling sulung tinggal di rumah opung, ia bersekolah di sana.

Ternyata anak paling kecil dari anak mereka sedang menderita sakit. Dan mereka telah bolak-balik masuk rumah sakit untuk membawa anak tersebut berobat. Akhirnya, mama menyarankan mereka untuk membawa anak bungsu mereka ke tempat seseorang yang dipercaya mama dapat mengobati penyakit anaknya tersebut.

Mereka pun menuruti saran mama dan segera membawa anak bungsu mereka yang baru berumur kurang lebih setahun itu ke tempat yang telah disebutkan mama. Hari pertama, ada sedikit perubahan yang baik pada kondisi kesehatan sepupu kecilku itu. Dia mulai bernafsu makan dan selalu ingin makan padahal sebelumnya anak mereka itu adalah anak yang paling susah untuk makan.

Namun, pengobatan tersebut tak cukup hanya dilakukan sekali, harus berkali-kali. Untuk itu, istri dan kedua anak dari adik papaku tersebut harus tinggal beberapa hari di rumah kami. Sementara suaminya harus kembali ke rumah mereka yang ada di Pekan Baru sebab pekerjaan tengah menantinya.

Alhasil, beginilah rumah kami. Diramaikan oleh tangis dan tawa anak-anak. Bagiku, hal tersebut sangat mengganggu. Namun mama sepertinya menikmati keramaian itu. Biarlah.

Mama mulai tersenyum kembali, aku tidak tahu apakah ini awal dari kehidupan mama yang indah atau awal dari lenyapnya satu per satu penyakit dari tubuh mama. Yang jelas, aku berharap mama selamanya tetap begini, tersenyum bahagia.

Mama sering menggoda sepupu-sepupu kecilku itu, apalagi ketika mereka merengek. Rengekan mereka terkadang membuat mama tertawa geli.

Tapi, senyuman itu tak berlangsung lama. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran Tuhan, mengapa Dia cepat sekali mengakhiri segalanya padalah itu baru akan dimulai sekarang. MENGAPA???

Mamaku kembali lagi merasakan sakit yang teramat sangat. Malam itu, mama memasang kipas angin sampai pagi hari. Alhasil, perut mama sakit luar biasa. Iya, aku mendengar sendiri suara kipas angin tersebut. Kata mama, papa yang memasang kipas angin itu, sebab malam hari tersebut papa kepanasan.

Seharusnya mama tak menginzinkan papa melakukan hal itu, sebab resikonya sangat besar buat mama. Dan semoga bukan hal yang buruk yang akan terjadi lagi dan lagi.

Aku pikir, semua acara telah berakhir. Namun masih ada satu acara lagi yang bakal berlangsung di rumah kami. Acara kebaktian rabu malam yang diadakan di masing-masing rumah jemaat gereja setiap minggunya. Dan minggu ini adalah rumah kami yang mendapat giliran.

Yeah, aku tahu. Masih harus makan-makan lagi. Kata mama, kebaktian tersebut juga untuk mendoakan kami sekeluarga agar diberkati pindah di rumah kontrakan tersebut.

Rabu malam itupun dilaksanakan kebaktian tersebut. Banyak juga yang datang. Walaupun rumah kami tersebut tidak mudah untuk dijangkau dan sangat rusak jalannya, jemaat-jemaat tersebut mau juga meringankan langkahnya ke rumah kontrakan kami yang mungil itu.

Tapi ketika kebaktian dimulai dengan khotbah, saat itu mama beranjak dari tempatnya dan masuk ke kamar tepat ketika pendeta sedang memimpin doa. Aku mendengar derap langkah kaki mama yang masuk ke kamar secara berantakan. Kemudian disusul oleh langkah seseorang yang tidak lama aku menyadari bahwa orang yang menyusul mamaku adalah adikku. Sebab aku mendengar adikku berbicara pada mamaku dengan suara yang hampir menyerupai bisik. Aku ingin beranjak juga saat itu, namun aku pikir itu tidak mungkin kulakukan. Toh, adikku sedang bersama mamaku.

Pendeta selesai berdoa. Aku langsung beranjak masuk ke kamar mamaku. Namun mamaku menyuruhku untuk tetap mengikuti kebaktian itu.

“sebaiknya kau tetap berada di sana. Adikmu sudah cukup untuk menemaniku di sini. Mama gak apa-apa, “ ucap mama sedikit terengah-engah.

Aku menuruti perintah mama tanpa penolakan.

Keesokan harinya, mama masih mengalami kesakitan. Dan aku tahu bahwa itu bukan sakit biasa. Ya, pasti itu akibat kipas angin sialan itu. Mengapa ada orang yang mau repot-repot menciptakan alat sebodoh itu, seandainya saja tak ada kipas angin, mungkin takkan seperti itu jadinya.

Aku benci…. Kenapa seperti ini lagi? Kenapa terjadi lagi? Belum puaskah hal yang paling menyedihkan yang terjadi sebelum saat ini? Dan… KENAPA HARUS MAMAKU YANG TUHAN INGINKAN UNTUK MERASAKANNYA???

Saat itu, mama tidak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya sangat lemah akibat menahan sakit perut yang bukan kepayang itu. Papa kemudian mengajak mama ke rumah sakit. Lagi-lagi ke rumah sakit. Aku sempat berpikir, apa tidak ada jalan lain selain ke tempat menjijikkan itu? Kenapa harus ke tempat itu lagi?

Tapi, kali ini mama tidak sependapat dengan papa. Beliau menolak ajakan papa untuk pergi ke rumah sakit. Namun, papa tidak bisa membiarkan mama terus-terusan seperti itu. Mama merintih kesakitan, bahkan hal yang terburuk adalah disaat mama tertidur dan kami tak bisa membangunkan beliau. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi. Aku tak ingin mama tertidur saat itu. Karena jika hal itu terjadi maka akibatnya mama akan tertidur untuk selamanya, itu firasatku.

Mama masih saja menolak pergi ke rumah sakit walaupun seisi rumah telah menyarankannya.

Papa kemudian memanggil tukang pijat. Mungkin tukang pijat tersebut dapat mengurangi sakit perut yang diderita mama. Namun, ketika nenek yang akan memijat mama melihat kondisi mama yang buruk seperti itu. Nenek tersebut tidak berani untuk memijat mama. Jangankan memijat mama, menyentuh perut mama saja nenek tersebut tidak berani. Namun mama memaksa nenek tersebut untuk mengurut mama. Mama memercayakan kesembuhannya kepada nenek tersebut. Dengan terpaksa, nenek tersebut pun memijat perut mama juga. Aku tahu bahwa nenek itu takut kalau beliau nantinya akan salah pijat dan akibatnya akan sangat fatal buat mama.

Papa masih tidak bisa tinggal diam. Beliau menyuruhku untuk menelepon adik laki-laki mama yang pada saat itu sedang bekerja di kantornya. Ya, aku menelepon adik lelaki mama tersebut untuk minta bantuan agar beliau mau memaksa mama pergi ke rumah sakit. Adik lelaki mama tersebut pun akhirnya memaksa mama untuk ke rumah sakit. Dan akhirnya mama pun setuju untuk pergi ke rumah sakit.

Aku segera mengemasi baju-baju mama ke dalam tas besar untuk kesekian kalinya. Aku tak tahu entah berapa kali aku melakukan hal yang sama. Dan aku tak mau menghitungnya.

Akhirnya, mama dan papa pergi ke rumah sakit. Sementara aku, adikku, dan ipar papa beserta dua anaknya tetap tinggal di rumah.

Esok harinya, aku menemani adik ipar papaku itu ke rumah seseorang yang disarankan mama mampu untuk menyembuhkan anaknya yang sakit.

Sebenarnya pagi itu, aku berencana untuk menemui mama di rumah sakit namun aku belum menerima perintah tersebut dari mama. Dan aku menghabiskan separuh waktu siangku untuk menemani adik ipar papa. Sedikit membosankan.

Handphone-ku berbunyi, papa menghubungiku. Beliau menyuruhku untuk membawakan beliau pakaian ganti. Ternyata aku baru sadar bahwa aku lupa memasukkan pakaian papaku ke dalam tas tersebut. Dan beliau juga menyarankan agar aku dan adikku menginap saja di rumah sakit.

Akhirnya, aku dan adikku pun menginap di rumah sakit. Dan ini bukan untuk pertama kalinya. Aku juga tak tahu pasti telah berapa kali aku menginap di tempat menyedihkan itu.

Papa tersenyum melihat kami berdua tiba di tempat itu. Begitu juga dengan mama.

Aku benci, kenapa harus lagi dan lagi. Kenapa tak orang lain saja yang merasakan nikmatnya menginap di rumah sakit kelas VIP itu? Aku sudah bosan menginap di hotel angker itu. Tapi mengapa mama tak bosan juga?

Terlalu banyak yang tersakiti, teralalu sakit dan bahkan tak terperi lagi. Mamaku kembali lagi dan lagi merasakan empuknya ranjang rumah sakit itu. Aku tak tahu mengapa mama betah balik lagi ke tempat menjijikkan itu. Tdak ada yang menyenangkan di situ. Hanya bau-bau obat yang selalu membuat aku mual dan ingin muntah.

Hal yang tak terpikirkan olehku dimana mama sampai pada kondisi yang di luar dari alam bawah sadar beliau. Ya, mama tak dapat lagi berkomunikasi dengan baik ketika kami mengajak beliau berbicara. Mama seperti seseorang yang terkena struk. Bibirnya terlihat peyot, matanya memandang tanpa target yang jelas.

Dan akhirnya membiarkan para suster dan dokter muda itu membawa mama ke ruang ICU.

Selalu saja begini dan berakhir seperti ini. Bak sebuah siklus air yang tak henti-hentinya. Seperti mamaku yang sampai pada kondisi yang sekarang ini. Dan kembali seperti itu lagi dalam waktu yang tak tentu.

Detik dimana mereka akan membawa mamaku ke ruang yang mengerikan itu. Dengan tersedu dan air mata masih berusaha mencuci mukaku, aku mengajak adikku duduk di samping tempat tidur mamaku yang saat itu kondisinya teramat kritis. Kami berdoa bergantian, seakan-akan beliau akan segera dipanggil saat itu juga.

Dalam doaku, aku meminta supaya Tuhan memberikan satu kesempatan untuk kubisa menyenangkan hati mamaku. Aku belum memberikan mama suatu kebanggaan dimana beliau merasa beruntung memiliki anak sepertiku. Begitupun dengan doa adikku hampir sama seperti apa yang telah kudoakan. Intinya, kami ingin mama kembali sehat.

Tuhan mengabulkan doaku dan doa adikku. Mama segera tersadar sebelum ia tiba di ruang ICU itu.

Aku senang. Mama tak jadi masuk ruang ICU itu. Malam itu juga mama kembali ke ruang biasa. Yeah, ruang biasa yang hanya berlaku di rumah sakit. Namun mama tak juga langsung dapat pergi dari rumah sakit tersebut. Mungkin, mama masih harus menjalani prosedur.

Aneh juga mendengar kata “prosedur”. Disaat pasien sedang gawat-gawatnya, masih saja disibukkan dengan prosedur-prosedur. Aku jadi ingat sama film india yang ambulance-nya datang ketika si korban telah meninggal dunia. Lucu.

Abangku yang bekerja di rantau orang pun pulang kampung juga akhirnya setelah mendengar kabar buruk mengenai mama. Aku yakin, setelah melihat anak sulungnya pulang. Pasti mama bakal cepat sembuh. Aku yakin itu.

Mama pun keluar juga dari rumah sakit. Bukan berarti mama sembuh total. Mungkin mama telah menjalani prosedur-prosedurnya sehingga mama diizinkan keluar dari rumah sakit.

Mama masih saja berjalan dengan bergantung pada tembok-tembok yang ada disekitarnya. Mama masih tidak memiliki keseimbangan untuk berjalan normal. Aku benci melihat keadaan mama yang seperti itu. AKU SANGAT BENCI.

Aku selalu merasa bahwa mama berpura-pura lemah dan tak mampu berjalan agar seluruh perhatian orang tertuju padanya. Mungkin yang terjadi tak seperti apa yang aku pikirkan namun aku tak pernah bisa menghapus pikiran seperti itu.

Mama pun senang akhirnya kami bisa berkumpul lagi. Inilah sebenarnya yang dirindukan mama. Dan aku baru menyadari mengapa mama tak menginginkan aku kuliah jauh-jauh. Beliau tidak akan pernah sanggup berpisah lama-lama dengan anak yang ia sayangi.

Seperti biasa, mama mengajak kami untuk mengadakan kebaktian keluarga. Mama masih saja mengucapkan beribu puji syukur buat Tuhan-nya itu. Aku tidak tahu kapan mama pernah marah kepada Tuhan seperti yang aku lakukan setiap hari jika melihat mama merintih dalam kesakitannya.

Seminggu berlalu, abangku pun akhirnya kembali ke rantaunya. Sebab dia hanya diberi izin selama seminggu.

Libur sekolah pun berakhir. Namun libur semesterku masih amat panjang lagi. Dan aku harus tetap tinggal di rumah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah di sini bukan berarti tugas-tugas kuliah melainkan tugas membersihkan rumah, memasak, mencuci dan lain-lain. Itu telah kulakukan sejak lama saat mamaku sudah tak berdaya lagi melakukan apapun dengan kekuatan fisik. Aku mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk menyetrika walaupun semua tak berjalan dengan baik. Aku selalu menyelesaikannya dengan tak karu-karuan dan mama kembali mengomel. Mama adalah manusia yang paling sehat jika sedang mengomel. Beliau selalu berteriak membangunkanku setiap pagi yang malas sekali untuk bangun. Terkadang aku benci melihat sikap mama yang terlalu menjengkelkan itu. Ehm… bukan mamaku yang menjengkelkan namun aku anak yang tak tahu diuntung.

Perangai burukku mulai kelihatan ketika salah seorang teman sekelasku mengirimkan sebuah pesan singkat. Di dalam pesannya tersebut, temanku memberitahu nilai-nilai hasil ujian kami. Dari pesan singkat tersebut, aku tahu bahwa indeks prestasiku menurun drastis. Hal itu membuat aku sangat kesal. Aku mulai mengkambinghitamkan semua hal yang berpotensi tinggi sebagai penyebab runtuhnya indeks prestasiku menjadi 2.86.

Salah satunya, aku menyalahkan mama. Ya, mama.

Beliau adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, batinku.

Yeah, anak macam apa aku ini? Padalah itu semua terjadi karena kesalahanku yang tak pernah peduli dan serius terhadap semua pelajaranku.

Yang jelas, aku mulai tidak menyenangkan sejak saat itu.

Puncaknya adalah saat itu ketika matahari dengan hangatnya mulai menyinari bumi. Aku, papa dan mamaku sedang berada di dalam rumah. Waktu itu papa akan berangkat bekerja, sementara aku sedang menyetrika pakaian. Aku yang pada saat itu sedang merenungkan hal-hal yang menurutku tidak pernah adil yang terjadi di hidupku. Tiba-tiba saja papaku mengatakan bahwa aku harus memasak dan lai-lain yang memang setiap harinya aku lakukan.

“ya, itu memang pekerjaanku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku capek,” ucapku.

“kau pikir cuma kau saja yang capek? Aku juga jauh lebih capek, aku harus bekerja dan memikirkan hal-hal lain yang terjadi,” jelas papa.

“kenapa harus aku yang jadi korban? Kenapa aku harus selalu memikirkan hal-hal yang seharusnya tak kupikirkan? “

Mamaku yang pada saat itu berada tak jauh dari kami pun ikut dalam dialog tidak penting itu. Beliau pun diingatkan kembali pada rencanaku yang ingin mengikuti ujian beasiswa ke Jepang. Mamaku melarang aku untuk mengikuti hal itu sebab jika aku lulus dan berangkat ke Jepang, maka siapa lagi yang akan menemani beliau.

Menemani? Apa maksudnya? Bukan menemani melainkan membantu beliau dalam segala hal. Ya, aku merasa menjadi budak. Aku merasa terkekang akibat penyakit sialan yang diderita mama. Aku tidak bisa menikmati masa-masa remajaku yang hanya sesaat kualami. Aku tak bisa beranjak dari rumah ketika waktu libur tiba. Aku harus memikirkan mamaku, mamaku dan mamaku. Kapan aku memikirkan diriku?

Aku selalu meminta izin pada papaku untuk mengikuti suatu acara atau untuk pergi keluar bersama teman-teman.

“jika kau pergi, siapa yang akan menemani dan memperhatikan mamamu?” Tanya papa setiap kali aku ingin pergi.

Selalu saja seperti itu. Aku merasa kehidupanku tidaklah berjalan dengan normal sebagaimana remaja putri lainnya. AKU MERASA INI TIDAK ADIL.

Puncaknya saat itu, ketika bibiku mengatakan bahwa inilah saatnya aku harus memikirkan diriku, kehidupanku dan masadepanku.

“jangan hanya karena penyakit orangtua maka si Ruth harus berhenti memikirkan masadepannya,” ucap bibiku.

Mamaku mengingat hal itu kembali. Beliau sedih, beliau menangis. Yeah, aku tahu akan terjadi seperti ini.

“ya sudah, pergilah kau meraih masadepanmu itu. Jangan pedulikan aku, biarlah aku mati di sini tanpa kau melihat aku,” ucap mamaku.

Kenapa aku selalu berada diposisi seperti ini. Aku benci dipojokkan. Kenapa aku harus seperti ini?

Sebenarnya aku tak bermaksud ingin meminta apa-apa yang aku tahu bahwa hal itu tak akan pernah terpenuhi. Aku hanya ingin mereka tahu apa yang aku rasakan, aku ingin mereka tahu curahan hatiku, hal-hal apa saja yang mengganjal dihatiku, dan IP yang menurun.

Mengapa tak ada yang mengerti aku? Mengapa tak satupun ingin mendengar keluhanku?

Aku capek. Aku memang tak memiliki penyakit parah yang dimiliki oleh mama, namun aku memiliki keluhan yang sama. Kenapa aku harus menjadi korban?

Kenapa aku harus ikut merasakan susahnya penyakit itu? Mengapa abang dan adikku tak pernah terlibat didalamnya. Mengapa harus aku?

Dan ketika mama mengatakan bahwa anak sulungnya yang hanya peduli dan sayang padanya, aku sedih. Kenapa seperti itu? Kenapa beliau tak memperhitungkan apa yang aku lakukan untuknya hanya karena abangku yang berada jauh disana menanyakan apakah mama sehat? Apakah mama sudah makan?

Apakah mamaku tidak pernah berpikir bahwa aku yang menghidangi ketika beliau ingin makan, bahwa aku yang memasaknya, bahwa aku yang menyediakan air hangatnya untuk mandi. Kenapa beliau tak pernah memperhitungkan hal itu hanya karena anak sulungnya itu menanyakan keadaannya. Jika begitu, aku juga bisa melakukan apa yang dilakukan abangku itu. Disini, aku tak menuntut apa-apa, aku hanya meminta sedikit pengertian mereka, aku hanya ingin meminta kebebasanku yang tak pernah kukuasai sepenuhnya.

Lagi-lagi mama menangis. Ya, mama acap kali menangis karena sifatku, karena egoku dan karena kekeraskepalaanku. Beliau menangis sembari mengerjakan pekerjaan rumah yang setiap harinya kukerjakan.

“biar saja aku begini, tidak usah ada yang memedulikanku. Biar saja aku mati,”ucap beliau sembari menangis.

Jujur, aku tak tahan jika melihat mamaku menangis. Saat itu mama sedang memasak, aku mencoba mengambil alih apa yang sedang mama kerjakan. Tapi mama sama sekali tak mengizinkan aku berbuat hal itu.

“sebaiknya kau pergi. Aku tak mau melihatmu di sini. Pergi saja kau dengan kesenangan yang kau inginkan itu. Pikirkan saja kuliahmu, pikirkan saja masa depanmu. Jangan pedulikan aku, biarlah aku mati pelan-pelan tanpa kau ketahui. Tak usah pedulikan aku. Jika aku mati nanti, gali saja lubang dan campakkan tubuhku kedalamnya. Tak perlulah kau membuat acara-acara untuk kematianku,” isak mama.

Aku selalu terpojokkan.

Aku kemudian meninggalkan mamaku dengan kesibukannya itu. Aku beranjak menuju kamarku dan melanjutkan setrikaanku yang sempat tertunda.

Masih saja kudengar isak tangis mama. Ya, hanya isak tangis mama sebab papa telah berangkat bekerja.

“ya Tuhan, kenapa seperti ini nasibku? Kenapa putriku tak lagi peduli padaku? Ya, Tuhan… dia sudah bosan merawat aku,” isak mama lagi sembari menyanyikan lagu-lagu rohani yang menyayat hati.

Terserah. Aku tak peduli.

Tapi, namanya juga hubungan mama dan anak. Permasalahan tersebut hanya berakhir disitu saja. Tidak diteruskan kembali sebab tak ada yang menguntungkan dari hal itu.

Esoknya, aku berbaikan lagi dengan mama. Walaupun mama terkadang tidak sadar dan kembali mengeluh tentang hidupnya. Aku berusaha memberikan mama semangat. Aku mencoba menguatkan mama.

“mama tahu? Mama adalah orang yang hebat. Mama harus bersyukur sebab mama memiliki pengalaman hidup yang luarbiasa yang dapat mama ceritakan untuk orang lain. Coba mama bandingkan hidup mama dengan teman-teman mama. Mereka tumbuh besar, sekolah, kuliah, cari kerja, menikah, punya anak, punya cucu dan lain-lain. Kehidupan seperti itu adalah kehidupan yang biasa-biasa, tidak ada hal yang menarik sebab semua orang kebanyakan memiliki hidup yang seperti itu. Berbeda dengan mama yang harus berjuang untuk hidup. Mama harus mengambil sisi positifnya sebab dengan begitu mama takkan mengeluh lagi. Mama bisa menuliskan tentang perjalanan hidup mama. Nanti aku akan menyerahkannya pada penerbit buku,” ucapku sewaktu membantu mama memasak di dapur.

Sepertinya mama tertarik dan beliaupun mulai menulis. Ya, beliau menulis walaupun hanya selembar sebab beliau tak sanggup lagi menulis. Menurutnya, kehidupannya sama sekali tak ada kebahagiaan. Beliau menangis.

Mama belum sembuh betul, namun beliau memaksakan diri untuk bekerja. Papa juga tak mengizinkan mama bekerja, namun apa boleh buat, keinginan mama sangat kuat. Tak seorangpun bisa melarangnya.

Mama akhirnya berangkat bekerja juga walaupun dengan jalan yang sempoyongan yang harus bergantung pada tembok-tembok sekitar. Semoga saja tidak terjadi hal buruk.

Namun tak lama kemudian, mama balik lagi ke rumah dengan diantar oleh papa. Namun papa kembali lagi bekerja. Mama kemudian duduk di lantai ruang tamu. Beliau kemudian menyuruhku membawakan secangkir air hangat. Aku mengantarkannya pada mama.

“baju baru kau nang?” Tanya mama padaku ketika melihat aku memakai baju yang tak pernah kupakai sebelumnya.

Aku tak suka dengan perkataan mamaku itu. Padahal beliau jelas-jelas melihat noda hitam yang besar di bagian depan baju tersebut. Itu adalah baju bibiku, aku sempat memakainya sebab ketika aku pergi ke ladang, baju yang aku pakai sangatlah kotor. Dan aku meminjam baju bibiku tersebut.

“hanya orang yang paling bodohlah yang mengatakan ini baju baru,” ucapku pada mama sembari berlalu dihadapannya.

Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku pikir tidak ada masalah dengan kalimat yang aku lontarkan itu. Ternyata kalimat tersebut sangat menyakiti hati mama.

Mama beranjak dan kemudian menuju kekamarnya. Beliau menangis di dalam kamar sembari berbicara dalam bahasa batak toba. Aku tak tahu apa arti dari semua perkataannya itu. Namun ada sepenggal kata yang kupahami dari apa yang dikatakan beliau.

Mengapa kau menyakiti hatiku, putriku?

Kalimat itu yang acap kali diucapkan mama dalam bahasa batak toba yang hanya itu yang aku tahu artinya. Aku mencoba masuk ke kamar mama, tapi pintu kamar tersebut sulit sekali untuk aku buka. Mungkin saja mama mengunci kamarnya dari dalam. Aku mencoba lagi dan kemudian mendorong pintu tersebut sekuat tenaga. Pintunya terbuka.

Aku melihat mama duduk di tepi tempat tidurnya. Mama menangis. Ya… beliau menangis sembari berkata-kata dalam bahasa batak toba yang tak kumengerti. Aku hanya tahu kalau beliau sedang mengeluhkan sikapku. Beliau acap kali menyebutkan nama Tuhan. Huh, salah apalagi aku ini?

Aku duduk di samping mama sembari memijat kakinya. Aku ingin minta maaf, namun lidahku kelu untuk mengucapkan kata itu. Aku hanya diam membisu mendengarkan segala apa yang diucapkan mama walaupun aku tak pernah tahu apa arti dari semua yang diucapkan oleh beliau.

Aku selalu berusaha untuk mengucapkan kata maaf, entah mengapa lagi-lagi aku kehilangan keberanian untuk mengucapkan sepatah kata itu. Dan aku tahu bahwa gengsi mengalahkan keberanianku, aku takut untuk mengakui bahwa sebenarnya aku telah salah selama ini. Aku malu.

Mama masih menangis. Dan aku juga masih tak mampu mengucapkan kata sederhana itu.

Mama bercerita tentang seorang wanita simpanan yang rumahnya berada di depan kost mama sewaktu mama kuliah dahulu. Wanita itu selalu memainkan piano, dia memainkan lagu-lagu sediah yang menyayat hati. Mama kemudian menangis lagi untuk hal itu yang menurutku sama sekali tidak pantas untuk ditangisi. Kemudian aku bertanya pada mama mengapa mama menangis untuk hal-hal yang tidak penting seperti itu. Itu memang resiko dia sebagai wanita simpanan.

Mama berkata bahwa beliau tidak menangisi hal itu. Beliau hanya sedih, mengapa rekan-rekan kerjanya menjauh dari dia?

“ dia yang dulu sering aku bantu. Waktu dia pinjam sesuatu, aku selalu memberikan. Waktu dia bertanya hal-hal yang tidak dia ketahui, aku selalu menjawab. Aku selalu menolongnya, namun kenapa saat keadaanku seperti ini dia malah menjauh dariku?” cerita mama sembari menangis.

“siapa dia, ma?” tanyaku yang tanpa sadar ikut menjatuhkan airmata.

“rekan kerja mama. Tapi tidak apa-apa, dia masih muda. Dia tidak tahu apa-apa…”

“siapa namanya, ma?”

“kau tak perlu tahu. Biarlah semua perlakuan mereka, mama simpan di dalam hati mama. Mama tidak bermaksud untuk membuatmu menangis,” ucap mama ketika melihat bening-bening itu mengalir deras di pipiku.

“maafkan aku, ma… “ ucapku akhirnya.

“mama sudah memaafkan kalian semua sebelum kalian meminta maaf. Apalah mama ini, mama hanya sebuah boneka. Tidak ada gunanya lagi. Terserah kalian mau meletakkan mama dimana saja. Kalau kalian dudukkan disini, maka mama akan duduk. Kalau kalian berdirikan mama di sana, maka mama akan berdiri di sana. Mama ini hanya sebuah boneka…” ucap mama dengan tangis yang semakin menjadi.

Kali ini, tangisku tak tertahan lagi. Ternyata aku baru menyadari bahwa mama juga telah merasakan hal-hal yang tak mengenakkan seperti itu sebelumnya. Aku pikir, selama ini mama masih menikmati segalanya, segala kekurangannya. Tapi…

Yeah, hal tersebut adalah suatu kewajaran dimana penderitaan yang dihadapi mama seperti siklus air yang tak pernah ada henti-hentinya mengalir.

Mama masih menangis, kali ini tangis mama bertambah kuat. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya menangis sama seperti mama. Ternyata, memang sungguh menyedihkan.

“aku masih ingat, sewaktu aku masih kecil. Aku sering bermain di sungai, aku hanya bermain sebentar. Tapi opung dolimu langsung memanggil aku dengan kayu belahan di tangannya. Betisku dipukuli dengan kayu itu,” isak mama.

Aku masih terdiam. Aku masih mendengarkan.

“waktu kecil, aku ingin makan apa saja. Namun aku tahu kalau opungmu tidak mungkin menuruti semua keinginanku, aku tahan seleraku. Namun kenapa ketika aku sudah mulai cukup, aku malah tidak bisa memakan apa-apa karena penyakitku ini? Ini tidak adil! ” jerit mama.

Miris memang mendengar ucapan mama. Namun sayangnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya menangis. Ya, hanya menangis.

“maaf, mama tidak bermaksud membuat kau bersedih. Mama hanya ingin kau tahu bahwa kehidupan yang mama jalani ini tidaklah mudah. Mama hanya ingin kau tahu betapa mama ingin sekali sehat. Mama hanya ingin kau tahu.”

Lagi-lagi aku terdiam, seakan semua kata-kata terhapus oleh air mataku sendiri. Aku memang mudah saja untuk bersedih, namun aku tidak pernah berpikir untuk berbuat yang lebih baik lagi.

“mama cuma minta satu dari kau, Ruth. Kaulah yang akan melanjutkan cerita mama, jika mama sudah tidak ada lagi.”

“mama kok ngomongnya kek gitu? Itukan cerita mengenai diri mama sendiri, harus mama yang menceritakannya. Bukan aku.”

Jujur, perkataan mama barusan berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Mama berkata demikian seakan-akan beliau akan pergi saat itu juga untuk selamanya.

“mama tidak mampu lagi. Tangan mama sulit untuk digerakkan, sangat kaku. Pandangan mama juga masih kabur. Kau sajalah yang menyelesaikan cerita tentang mama. Buat saja cerita tersebut menurut segi pandangmu. Lagipula mama tidak dapat merangkai kata-kata.”

Aku hanya mengangguk berat. Sungguh, aku masih bisa merasakan kalimat mama tersebut dengan sangat. Aku sudah merasakannya.

“tapi jangan ceritakan apa-apa tentang hal ini pada papamu. Aku tahu bahwa kau sudah cukup dewasa untuk mengerti keadaannya,”ucap mama.

“iya, ma.”

Iya, aku takkan pernah menceritakan apa-apa tentang papa yang telah kudengar sendiri dari mama. Yeah, tentang perubahan sikap yang dirasakan mama. Tentang kekecewaan mama. Aku takkan pernah memberitahunya kepada siapapun semua rasa kekecewaan mama terhadap mereka. Dari hal tersebut aku dapat belajar bahwasanya tidak ada yang abadi sekalipun itu cinta.

Kami menghentikan segala obrolan kami ketika papa sampai di rumah.

“ingat, jangan cerita apa-apa ke papamu,”ucap mama mengingatkan.

“iya.”

Aku pun keluar dari kamar mama tepat ketika papa masuk ke kamar. Aku mendengar interaksi antara mereka. Tapi tak satu pun aku mengerti sebab terdengar samar olehku. Kemudian papa keluar kamar.

“kenapa mamamu? Kok susah kali ditanya?” Tanya papa padaku.

“aku gak tahu,” jawabku.

Papa kelihatannya depresi. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan papa. Dan aku juga tidak tahu apakah perubahan sikap tersebut benar dirasakan oleh mama. Kemudian papa pergi lagi, entah kemana.

Mama keluar dari kamar, beliau menyuruhku untuk menyiapkan makan siangnya, seperti biasa.

“tuh kan, tadi aku suruh dia mengambil tempat tehku yang tinggal di meja piket. Tapi mana? Tak ada diambilnya. Pergi pula dia, kemanalah dia pergi itu?” gerutu mama.

Aku diam saja. Sepertinya penyakit ngawur mama kembali muncul. Beliau mulai berbicara yang tidak-tidak.

Jujur, aku sangat membenci jika mama berada pada kondisi yang seperti itu. Beliau bahkan tidak mengerti apa yang telah dikatakannya. Dan yang lebih parahnya mama bisa sama sekali tak mengenali kami.

Aku sedang berpikir, aku sedang mengingat apa lagi yang terjadi setelah ini. Iya, ternyata ingatanku mulai menurun. Selanjutnya aku tak mengingat lagi apa yang terjadi, aku pikir semua itu tidak terlalu penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar